Beberapa hari kemudian, pasar dihebohkan oleh kabar bahwa Tono berhasil mencuri satu panci besar kuah soto milik Sri.
“Sekarang aku punya rasa yang sama!” serunya bangga kepada beberapa pedagang lain.
Namun, keesokan harinya, pelanggan tetap gerobak Sri. Tak ada yang beralih ke Tono.
“Kenapa mereka tetap ke dia?” gerutu Tono, menatap gerobaknya yang kosong.
Ia pun mendatangi Sri lagi, kali ini dengan nada penuh emosi.
“Sri! Apa yang sebenarnya kamu pakai? Aku sudah curi kuahmu, tapi rasanya tetap beda!”
Sri menatap Tono, lalu menarik napas panjang. “Ton, rasa itu bukan cuma soal bahan. Bukan soal apa yang kamu lihat atau kamu tiru. Ada sesuatu yang nggak bisa kamu ambil.”
“Apa itu?”
Sri tersenyum kecil. “Doa. Kesungguhan. Dan niat baik. Soto itu nggak cuma soal garam atau rempah-rempah, tapi soal apa yang kamu masukkan ke dalamnya dari hatimu. Kamu bisa mencuri kuahku, tapi kamu nggak bisa mencuri rasa yang datang dari keikhlasan.”
Malam itu, Tono duduk termenung di depan gerobaknya. Kata-kata Sri terus terngiang di telinganya. Ia mengingat kembali bagaimana ia selalu memasak dengan tergesa-gesa, penuh keluhan, dan tanpa rasa syukur.
Esok paginya, ia memutuskan untuk mencoba sesuatu yang baru. Ia memasak sotonya dengan hati lebih lapang, berusaha mengingat semua pelajaran yang ia dapatkan dari Sri.