OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa yang tenang namun penuh bisik-bisik, hidup seorang lelaki bernama Jarwo. Ia tak banyak bicara, hanya melakukan pekerjaannya sebagai pengrajin kayu. Tapi justru sikap diamnya itu yang membuatnya menjadi bahan pembicaraan orang.
"Jarwo itu aneh. Hidupnya begitu-begitu saja, seperti tidak punya cita-cita," bisik Bu Marni pada tetangganya.
"Kok tidak menikah? Usianya sudah kepala tiga. Jangan-jangan ada yang disembunyikan," tambah Pak Darto sambil tertawa kecil.
Desas-desus itu terus berputar, hingga akhirnya ada yang berani bertanya langsung kepadanya.
"Jarwo, kenapa kamu diam saja ketika orang-orang membicarakanmu?" tanya Pak Lurah suatu hari.
Jarwo hanya tersenyum tipis. "Ora ana kang ora dicacat, Pak Lurah. Wong sing akeh omong diceluk cerewet, wong sing meneng wae kok ya diarani misterius. Apa gunane aku nerangke?"
Pak Lurah mengangguk pelan, merasa ada kebenaran dalam jawaban itu. Namun, bagi orang-orang desa, sikap Jarwo yang tak pernah membela diri justru dianggap semakin mencurigakan.
Suatu malam, sebuah peristiwa menggemparkan desa. Rumah Bu Marni terbakar habis. Jeritannya menggema, memanggil bantuan.
Semua orang berlari keluar, tapi tak seorang pun cukup berani mendekat. Kobaran api terlalu besar, sementara Bu Marni masih terjebak di dalam bersama cucunya.
"Toloooong! Ada cucuku di dalam!" teriak Bu Marni, matanya liar mencari bantuan.
Orang-orang hanya berdiri di luar, saling pandang dengan wajah pucat. Hingga tiba-tiba, dari kerumunan itu, Jarwo melangkah maju tanpa sepatah kata.
"Jarwo! Jangan masuk, bahaya!" teriak Pak Lurah.
Tapi Jarwo tak menggubris. Ia mengambil selimut basah dari salah satu warga dan menerobos api tanpa ragu.
Beberapa menit berlalu seperti seabad. Orang-orang menahan napas, takut akan apa yang mungkin terjadi. Namun akhirnya, Jarwo muncul kembali, menggendong cucu Bu Marni yang menangis keras, sementara Bu Marni memegangi bahunya dengan langkah tertatih.
"Jarwo..." suara Bu Marni pecah oleh tangis.
Tapi Jarwo hanya tersenyum kecil, menaruh cucu itu di pelukan neneknya, lalu berjalan pergi dengan wajah penuh jelaga.
Keesokan harinya, Jarwo menjadi buah bibir lagi. Tapi kali ini, nadanya berbeda.
"Luar biasa, ya, Jarwo itu. Meski pendiam, hatinya emas," kata Pak Darto.
"Coba kita semua seberani dia. Malu rasanya semalam cuma bisa menonton," sahut yang lain.
Namun, di tengah pujian yang melimpah, Jarwo tetap sama. Ia terus bekerja di bengkel kayunya, memahat patung tanpa berkata sepatah kata pun.
Hingga suatu pagi, berita mengejutkan datang. Jarwo ditemukan tak bernyawa di rumahnya. Di sebelah tubuhnya, ada surat yang ditulis dengan tangan sederhana:
"Ora ana kang ora dicacat.
Aku ora takon marang apa sing didhelikake wong liya, ora mikir apa sing diomongke wong liya. Yen aku dipuja, aku ora butuh. Yen aku dicela, aku ora peduli. Aku mung pengin ngladeni urip iki kanthi cara sing aku ngerti."
Desa itu mendadak sunyi. Orang-orang yang dulu sibuk membicarakan Jarwo kini merasa kehilangan yang begitu besar. Mereka mendapati bahwa lelaki pendiam itu adalah satu-satunya yang berani melangkah maju di tengah ketakutan mereka.
Dan di bengkel kayu Jarwo, mereka menemukan patung terakhir yang sedang dikerjakannya: seorang lelaki berdiri kokoh di tengah badai, memeluk api.
Patung itu tak pernah selesai, tapi cukup untuk meninggalkan pesan mendalam. Karena akhirnya, desa itu menyadari: siapa pun yang hidup, entah dengan suara lantang atau diam seperti batu, pasti akan dikenang, bukan karena kata-katanya, melainkan karena tindakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H