Hingga suatu pagi, berita mengejutkan datang. Jarwo ditemukan tak bernyawa di rumahnya. Di sebelah tubuhnya, ada surat yang ditulis dengan tangan sederhana:
"Ora ana kang ora dicacat.
Aku ora takon marang apa sing didhelikake wong liya, ora mikir apa sing diomongke wong liya. Yen aku dipuja, aku ora butuh. Yen aku dicela, aku ora peduli. Aku mung pengin ngladeni urip iki kanthi cara sing aku ngerti."
Desa itu mendadak sunyi. Orang-orang yang dulu sibuk membicarakan Jarwo kini merasa kehilangan yang begitu besar. Mereka mendapati bahwa lelaki pendiam itu adalah satu-satunya yang berani melangkah maju di tengah ketakutan mereka.
Dan di bengkel kayu Jarwo, mereka menemukan patung terakhir yang sedang dikerjakannya: seorang lelaki berdiri kokoh di tengah badai, memeluk api.
Patung itu tak pernah selesai, tapi cukup untuk meninggalkan pesan mendalam. Karena akhirnya, desa itu menyadari: siapa pun yang hidup, entah dengan suara lantang atau diam seperti batu, pasti akan dikenang, bukan karena kata-katanya, melainkan karena tindakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H