OLEH: Khoeri Abdul Muid
Malam itu, hujan turun deras, memukul genteng rumah kecil di pinggir desa. Pak Aryo berdiri di ambang pintu, menatap ladang yang perlahan tergenang air. Di dalam rumah, Bu Ratmi duduk dengan mata sembab, kedua anak mereka tertidur di sudut kamar.
"Kenapa semua harus menurut kamu, Aryo?" suara Bu Ratmi pecah di tengah keheningan. "Apa aku ini cuma bayangan di rumah ini?"
Pak Aryo menghela napas panjang. Ia tak langsung menjawab, hanya menatap istrinya dengan pandangan lelah. "Aku yang bekerja, Ratmi. Aku yang tahu apa yang terbaik untuk keluarga ini."
"Bekerja? Iya, kamu bekerja," balas Bu Ratmi, suaranya bergetar. "Tapi kapan terakhir kali kamu bertanya, apa aku bahagia? Apa anak-anak kita bahagia?"
Pak Aryo menoleh ke arah kamar. Ia tahu Bu Ratmi benar. Suara tawa anak-anak mereka semakin jarang terdengar. Namun, harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakui kesalahan.
"Ratmi, aku sudah cukup lelah di ladang. Jangan tambahi bebanku dengan keluhan seperti ini," jawabnya dingin, lalu masuk ke kamar tanpa memedulikan air mata istrinya.
Benih Kekerasan Hati
Pagi itu, Pak Aryo bangun lebih awal. Ia menyiapkan cangkul dan keranjang rotan, bersiap menuju sawah. Namun, saat ia membuka pintu depan, ia menemukan pohon mangga di halaman tampak layu. Pohon itu dulu mereka tanam bersama, saat awal menikah.
Ia menatap pohon itu sejenak, tapi tak memberi perhatian lebih. Ia merasa ada hal-hal yang lebih penting daripada pohon kecil yang mulai kering.
Di dapur, Bu Ratmi sudah menyiapkan sarapan sederhana. Tapi ia tidak berbicara. Bahkan tatapannya tidak mengarah pada Pak Aryo. Ia hanya menunduk, tangannya sibuk membersihkan piring-piring kotor.
"Aku berangkat," kata Pak Aryo singkat, tapi tidak ada jawaban.
Hari itu, di ladang, pikirannya tidak tenang. Ia teringat percakapan malam sebelumnya. Namun, setiap kali rasa bersalah mencoba menyeruak, ia menahannya dengan pikiran bahwa ia sudah melakukan yang terbaik untuk keluarga.
"Ini hanya perasaan Ratmi saja. Nanti juga dia paham," gumamnya pada diri sendiri.
Puncak Kehancuran
Saat pulang sore itu, Pak Aryo mendapati rumah kosong. Meja makan tak terisi, suara anak-anak tak terdengar, dan Bu Ratmi tak tampak di dapur. Ia mencari ke setiap sudut, tapi hanya ada selembar surat di meja.
"Aryo,
Aku pergi bukan karena aku tak cinta. Aku pergi karena aku tak lagi punya tempat di hatimu. Aku telah mencoba bertahan, tapi yang kutemui hanya dinding keras yang tak pernah bisa kutembus.
Anak-anak butuh cinta, bukan hanya uang. Dan aku butuh suami, bukan hanya majikan.
Jika suatu hari kamu menemukan kerendahan hati dalam dirimu, ingatlah bahwa itu mungkin sudah terlambat.
Ratmi."
Pak Aryo membaca surat itu berulang kali, tangan dan hatinya gemetar. Ia berlari keluar, bertanya kepada tetangga, tapi tak seorang pun tahu ke mana Bu Ratmi pergi.
Malam itu, di bawah pohon mangga yang semakin kering, Pak Aryo terduduk. Hujan kembali turun, tapi ia tak bergerak. Untuk pertama kalinya, ia menangis. Tangis seorang pria yang menyadari bahwa kekerasan hati hanya membawa kehancuran.
Namun, saat ia menyadari semuanya, Ratmi dan anak-anak sudah tak lagi ada di sisinya.
Epilog
Bertahun-tahun kemudian, Pak Aryo tetap tinggal di rumah itu, sendiri. Pohon mangga di halaman depan telah mati, tak pernah lagi berbuah. Para tetangga sering melihat Pak Aryo duduk di bawah pohon itu, memandangi ranting-ranting kering sambil berbicara kepada angin.
"Ratmi... Kalau aku mendengarkanmu dulu... Mungkin pohon ini masih hidup. Mungkin rumah ini masih penuh tawa..."
Cerita Pak Aryo dan Bu Ratmi menjadi pelajaran bagi banyak pasangan di desa. Mereka yang mendengar kisah itu mengingatkan diri bahwa dalam tembayatan urip, yang dibutuhkan adalah lembah manah lan ajen-ingajenan. Sebab, kekerasan hati hanya meninggalkan kehampaan. Dan penyesalan, meski sekeras apa pun, tak pernah bisa mengembalikan yang telah hilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H