Di dapur, Bu Ratmi sudah menyiapkan sarapan sederhana. Tapi ia tidak berbicara. Bahkan tatapannya tidak mengarah pada Pak Aryo. Ia hanya menunduk, tangannya sibuk membersihkan piring-piring kotor.
"Aku berangkat," kata Pak Aryo singkat, tapi tidak ada jawaban.
Hari itu, di ladang, pikirannya tidak tenang. Ia teringat percakapan malam sebelumnya. Namun, setiap kali rasa bersalah mencoba menyeruak, ia menahannya dengan pikiran bahwa ia sudah melakukan yang terbaik untuk keluarga.
"Ini hanya perasaan Ratmi saja. Nanti juga dia paham," gumamnya pada diri sendiri.
Puncak Kehancuran
Saat pulang sore itu, Pak Aryo mendapati rumah kosong. Meja makan tak terisi, suara anak-anak tak terdengar, dan Bu Ratmi tak tampak di dapur. Ia mencari ke setiap sudut, tapi hanya ada selembar surat di meja.
"Aryo,
Aku pergi bukan karena aku tak cinta. Aku pergi karena aku tak lagi punya tempat di hatimu. Aku telah mencoba bertahan, tapi yang kutemui hanya dinding keras yang tak pernah bisa kutembus.
Anak-anak butuh cinta, bukan hanya uang. Dan aku butuh suami, bukan hanya majikan.
Jika suatu hari kamu menemukan kerendahan hati dalam dirimu, ingatlah bahwa itu mungkin sudah terlambat.
Ratmi."
Pak Aryo membaca surat itu berulang kali, tangan dan hatinya gemetar. Ia berlari keluar, bertanya kepada tetangga, tapi tak seorang pun tahu ke mana Bu Ratmi pergi.
Malam itu, di bawah pohon mangga yang semakin kering, Pak Aryo terduduk. Hujan kembali turun, tapi ia tak bergerak. Untuk pertama kalinya, ia menangis. Tangis seorang pria yang menyadari bahwa kekerasan hati hanya membawa kehancuran.
Namun, saat ia menyadari semuanya, Ratmi dan anak-anak sudah tak lagi ada di sisinya.
Epilog