OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah hutan lebat di tepi desa, tinggal seorang lelaki tua bernama Pak Riyono. Tubuhnya kecil, wajahnya penuh kerutan, namun matanya memancarkan ketenangan yang tak tergoyahkan. Sejak muda, ia dikenal sebagai penjaga hutan—bukan karena jabatan, melainkan karena cintanya pada alam. Bagi penduduk desa, ia hanyalah pria tua yang hidup sederhana, tetapi bagi hutan itu, ia adalah pelindung setia.
Setiap hari, Pak Riyono menyusuri rimba dengan langkah lambat, memungut dahan yang patah, memastikan tak ada sampah, dan berbicara kepada pohon-pohon tua seolah mereka adalah teman lamanya. Di sisi lain, cucunya, Yani, gadis kecil berusia sembilan tahun, sering mengikutinya.
"Kakek, kenapa Kakek bicara dengan pohon?" tanya Yani sambil mengusap keringat di dahinya.
Pak Riyono tersenyum, menatap pohon besar di depannya. "Pohon ini sudah hidup lebih lama dari kita, Yani. Mereka tahu lebih banyak tentang dunia daripada kita. Kalau kita mau mendengar, mereka akan mengajari kita banyak hal."
Yani mengernyitkan dahi, masih bingung, tetapi ia tahu, suatu hari, ia akan mengerti.
Suatu siang yang terik, seorang pria muda bernama Satrio datang ke desa. Penampilannya mencolok: jas mahal, sepatu mengkilap, dan sebuah truk besar penuh alat berat. Ia memperkenalkan dirinya sebagai pengusaha kayu sukses yang ingin membuka jalan baru di hutan.
"Saya sudah survei, dan jalan ini akan memudahkan penduduk membawa hasil bumi ke kota. Hutan ini besar, kok. Beberapa pohon ditebang tidak masalah," katanya penuh percaya diri di hadapan para warga.
Sebagian besar warga setuju. Pembangunan jalan dianggap sebagai peluang emas. Tetapi Pak Riyono hanya duduk diam di sudut, wajahnya gelap.
Setelah pertemuan selesai, Pak Riyono mendekati Satrio. "Nak, hutan ini bukan cuma kumpulan pohon. Ini rumah bagi banyak makhluk hidup. Kalau kau tebang tanpa berpikir panjang, kau menghancurkan kehidupan mereka."
Satrio terkekeh. "Pak, saya tahu apa yang saya lakukan. Saya tidak akan merusak. Lagipula, ini demi kemajuan."
Pak Riyono menghela napas panjang. “Kemajuan tidak berarti melupakan akar, Nak.”
Pekerjaan pun dimulai. Truk dan alat berat masuk ke hutan, menumbangkan pohon-pohon tua yang menjulang. Hutan yang dulu tenang kini dipenuhi deru mesin dan suara pohon yang roboh. Pak Riyono hanya bisa menatap dari jauh, hatinya seperti tersayat.
Malam itu, angin bertiup kencang. Seorang pekerja tanpa sengaja menjatuhkan puntung rokok yang masih menyala ke semak kering. Api kecil itu merambat dengan cepat, menjalar dari satu pohon ke pohon lainnya. Dalam hitungan jam, api berubah menjadi monster yang melahap hutan.
Pak Riyono mencium bau asap dan langsung bangkit. Ia mengambil ember kecil dan air seadanya, berlari menuju hutan. Yani mengekor di belakangnya, menangis ketakutan.
“Kakek, jangan! Api terlalu besar!”
Pak Riyono berhenti sejenak, menatap cucunya dengan mata lembut. “Yani, kalau kita tidak mencoba, siapa yang akan menyelamatkan hutan ini?”
Ia terus berjuang, membasahi pohon-pohon di sekitarnya untuk menghambat api. Penduduk desa akhirnya datang membantu, membawa ember, kain basah, dan sekop. Di tengah kekacauan, Satrio terlihat panik, memerintahkan orang-orang untuk menyelamatkan alat beratnya.
“Pak Riyono, ini tidak akan berhasil! Api ini terlalu besar!” teriaknya.
Pak Riyono membalas tanpa henti memompa air dari sungai kecil. “Besar atau kecil, api ini tetap harus dilawan, Nak. Kalau kita menyerah, hutan ini akan hilang selamanya.”
Setelah berjam-jam, api akhirnya padam. Tetapi separuh hutan telah menjadi abu. Pohon-pohon besar yang dulu berdiri kokoh kini hanya tinggal arang. Aroma hangus memenuhi udara.
Satrio berdiri di tengah kehancuran, wajahnya lesu. “Saya tidak menyangka ini akan terjadi,” gumamnya.
Pak Riyono, dengan tubuh lelah dan tangan hitam karena abu, berjalan mendekatinya. “Kau tahu, Nak, satu batang korek api kecil bisa menghancurkan jutaan batang pohon. Kekuatan bukan soal besar atau kecil, tapi bagaimana kita menggunakannya.”
Satrio tertunduk. Kata-kata itu menancap dalam di benaknya. Untuk pertama kalinya, ia merasa kecil di hadapan alam.
Hari-hari berlalu. Satrio berubah. Ia berhenti menebang pohon sembarangan dan mulai belajar dari Pak Riyono. Bersama warga, mereka menanam bibit baru di area yang terbakar. Yani, yang dulu tidak mengerti, kini membantu dengan penuh semangat.
“Yani,” kata Pak Riyono suatu hari, “Lihatlah hutan ini. Meski terbakar, ia akan tumbuh kembali. Hutan mengajarkan kita untuk tidak menyerah, meskipun dunia terasa hancur.”
Yani tersenyum, menatap tunas kecil yang mulai muncul di antara abu. “Hutan ini seperti Kakek, ya. Kuat meski sederhana.”
Pak Riyono tertawa kecil, mengusap kepala cucunya. “Bukan Kakek yang kuat, Yani. Tapi alam ini. Kita hanya penjaganya.”
Di tengah rimba yang sedang memulihkan diri, tumbuh harapan baru. Pohon-pohon kecil yang ditanam bukan hanya membawa kehidupan bagi hutan, tetapi juga menghidupkan kembali hati manusia yang pernah terjebak dalam kesombongan. Dan di sana, di antara akar-akar muda, tersimpan pelajaran abadi: bahwa kerendahan hati adalah kekuatan sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H