Satrio terkekeh. "Pak, saya tahu apa yang saya lakukan. Saya tidak akan merusak. Lagipula, ini demi kemajuan."
Pak Riyono menghela napas panjang. “Kemajuan tidak berarti melupakan akar, Nak.”
Pekerjaan pun dimulai. Truk dan alat berat masuk ke hutan, menumbangkan pohon-pohon tua yang menjulang. Hutan yang dulu tenang kini dipenuhi deru mesin dan suara pohon yang roboh. Pak Riyono hanya bisa menatap dari jauh, hatinya seperti tersayat.
Malam itu, angin bertiup kencang. Seorang pekerja tanpa sengaja menjatuhkan puntung rokok yang masih menyala ke semak kering. Api kecil itu merambat dengan cepat, menjalar dari satu pohon ke pohon lainnya. Dalam hitungan jam, api berubah menjadi monster yang melahap hutan.
Pak Riyono mencium bau asap dan langsung bangkit. Ia mengambil ember kecil dan air seadanya, berlari menuju hutan. Yani mengekor di belakangnya, menangis ketakutan.
“Kakek, jangan! Api terlalu besar!”
Pak Riyono berhenti sejenak, menatap cucunya dengan mata lembut. “Yani, kalau kita tidak mencoba, siapa yang akan menyelamatkan hutan ini?”
Ia terus berjuang, membasahi pohon-pohon di sekitarnya untuk menghambat api. Penduduk desa akhirnya datang membantu, membawa ember, kain basah, dan sekop. Di tengah kekacauan, Satrio terlihat panik, memerintahkan orang-orang untuk menyelamatkan alat beratnya.
“Pak Riyono, ini tidak akan berhasil! Api ini terlalu besar!” teriaknya.
Pak Riyono membalas tanpa henti memompa air dari sungai kecil. “Besar atau kecil, api ini tetap harus dilawan, Nak. Kalau kita menyerah, hutan ini akan hilang selamanya.”
Setelah berjam-jam, api akhirnya padam. Tetapi separuh hutan telah menjadi abu. Pohon-pohon besar yang dulu berdiri kokoh kini hanya tinggal arang. Aroma hangus memenuhi udara.