OELH: Khoeri Abdul Muid
Sore itu, matahari menggantung rendah di langit, cahayanya memercik lembut di atas danau kecil di Wisdom Park UGM.Â
Tini dan Siska melangkah perlahan di jalur setapak yang dikelilingi pepohonan rindang. Suasana hening, hanya suara gemericik air sungai yang terdengar, menemani langkah mereka yang mulai melambat seiring usia.
"Masih mau terus kerja? Ora kesel to?" Tini membuka percakapan dengan nada bercanda, menirukan komentar yang sering mereka terima dari rekan-rekan muda.
Siska tertawa kecil. "Capek itu biasa. Tapi, dengerin komentar orang, itu ekstra capek."
Tini tersenyum, menatap wajah sahabatnya yang tetap bersih dan bercahaya meski usia tak lagi muda. "Tapi kita pilih jalan ini, kan? Bukan karena terpaksa. Tapi karena kita tahu di sini kita hidup."
Di usia enam puluhan, mereka berdua masih memilih untuk bekerja di institusi yang sama, tempat yang mereka anggap rumah kedua. Bukan soal gaji atau jabatan, melainkan soal menemukan makna.
Siska berhenti sejenak di sebuah jembatan kecil, menatap aliran air yang jernih di bawahnya. "Ingat nggak, Tin? Dulu kita sering nongkrong di sini waktu masih mahasiswa. Kamu tuh dulu aktivis kampus, sibuk demo. Aku? Cuma si gadis bergaya yang sering kamu ejek sebagai selebritas."
Tini terkekeh. "Dan lihat kita sekarang. Tetap di sini. Tapi kali ini nggak ngejar mimpi muda, Sis. Kita lebih dari itu. Kita jadi bagian dari cerita mereka."
Mereka melanjutkan langkah. Di sekitar mereka, mahasiswa asyik dengan kegiatan masing-masing: ada yang duduk membaca buku, ada yang berfoto dengan pakaian unik, dan beberapa berlarian mengejar target olahraga sore.
"Sis, aku nggak bisa bayangin kalau kamu nggak ada," Tini tiba-tiba berkata.
Siska menoleh, bingung. "Kok ngomong gitu?"
"Serius, aku tuh merasa kamu yang bikin kerja ini masih terasa berarti. Kalau kamu pergi, aku nggak tahu apa aku bisa terus."
Siska terdiam. Lalu, dengan nada lembut, ia berkata, "Tin, aku harus bilang sesuatu. Aku dapat tawaran dari anak-anak. Mereka mau aku pensiun dan ikut tinggal di luar kota."
Langkah Tini terhenti. "Apa? Kenapa nggak pernah cerita sebelumnya?"
"Baru belakangan ini. Mereka bilang, aku harus lebih banyak istirahat. Katanya, aku ini sudah cukup memberi untuk orang lain. Sekarang waktunya buat diri sendiri."
Tini memandang Siska, matanya berkaca-kaca. "Tapi kita selalu bilang, kan? Selama tubuh masih kuat, kita tetap di sini. Ini bukan cuma kerja, Sis. Ini hidup kita."
Siska tersenyum tipis, meski ada kesedihan di matanya. "Kadang, Tin, hidup memaksa kita memilih. Aku nggak mau ninggalin ini. Tapi... aku juga nggak bisa terus mengabaikan anak-anakku."
Hening menyelimuti mereka. Hanya suara langkah kaki yang terdengar di jalan setapak itu.
Beberapa minggu kemudian, ruang kerja Siska kosong. Hanya ada tanaman kecil yang ditinggalkan di atas mejanya, bersama sebuah kartu bertuliskan: "Untuk Tini. Jangan lupa jalan sore. Kita mulai kebiasaan ini bareng, kamu harus terus meski aku nggak di sana. Persahabatan kita nggak akan selesai hanya karena jarak."
Tini membaca kartu itu sambil berdiri di tepi danau tempat mereka biasa berhenti. Matahari terbenam, memancarkan warna oranye yang memantul di permukaan air. Ia menatap bayangannya sendiri di danau, lalu tersenyum tipis.
"Baik, Sis. Aku nggak akan lupa."
Tini melanjutkan langkahnya, sendiri. Tapi di hatinya, ia tahu, sahabatnya selalu ada di setiap sore, di setiap langkahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H