"Sis, aku nggak bisa bayangin kalau kamu nggak ada," Tini tiba-tiba berkata.
Siska menoleh, bingung. "Kok ngomong gitu?"
"Serius, aku tuh merasa kamu yang bikin kerja ini masih terasa berarti. Kalau kamu pergi, aku nggak tahu apa aku bisa terus."
Siska terdiam. Lalu, dengan nada lembut, ia berkata, "Tin, aku harus bilang sesuatu. Aku dapat tawaran dari anak-anak. Mereka mau aku pensiun dan ikut tinggal di luar kota."
Langkah Tini terhenti. "Apa? Kenapa nggak pernah cerita sebelumnya?"
"Baru belakangan ini. Mereka bilang, aku harus lebih banyak istirahat. Katanya, aku ini sudah cukup memberi untuk orang lain. Sekarang waktunya buat diri sendiri."
Tini memandang Siska, matanya berkaca-kaca. "Tapi kita selalu bilang, kan? Selama tubuh masih kuat, kita tetap di sini. Ini bukan cuma kerja, Sis. Ini hidup kita."
Siska tersenyum tipis, meski ada kesedihan di matanya. "Kadang, Tin, hidup memaksa kita memilih. Aku nggak mau ninggalin ini. Tapi... aku juga nggak bisa terus mengabaikan anak-anakku."
Hening menyelimuti mereka. Hanya suara langkah kaki yang terdengar di jalan setapak itu.
Beberapa minggu kemudian, ruang kerja Siska kosong. Hanya ada tanaman kecil yang ditinggalkan di atas mejanya, bersama sebuah kartu bertuliskan: "Untuk Tini. Jangan lupa jalan sore. Kita mulai kebiasaan ini bareng, kamu harus terus meski aku nggak di sana. Persahabatan kita nggak akan selesai hanya karena jarak."
Tini membaca kartu itu sambil berdiri di tepi danau tempat mereka biasa berhenti. Matahari terbenam, memancarkan warna oranye yang memantul di permukaan air. Ia menatap bayangannya sendiri di danau, lalu tersenyum tipis.