Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nilai A

20 November 2024   15:49 Diperbarui: 20 November 2024   15:57 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. suneducationgroup.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di sebuah universitas terkemuka, nilai adalah segalanya. Di sini, angka A adalah lambang kesempurnaan yang jarang dijangkau, B berarti sudah cukup baik, dan C atau D adalah kegagalan yang membawa beban berat.

Di tengah ketatnya standar ini, ada seorang mahasiswa bernama Arman. Selama bertahun-tahun, nilai B menjadi sahabatnya---bukan karena ia tidak berusaha, tetapi karena ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar angka.

"Arman, kenapa kamu selalu dapat B? Bukannya kamu pintar?" tanya Rina, temannya yang selalu mendapatkan nilai A.

Arman tertawa kecil, meskipun sedikit tertekan. "Aku merasa B sudah cukup, Rina. Mungkin aku bukan yang terbaik, tapi aku sudah berusaha maksimal."

Namun, dalam hati Arman, nilai B terasa seperti pengingat bahwa ia belum sempurna, meskipun ia tahu bahwa setiap usaha yang dilakukan telah menghabiskan energi dan waktu yang tak terhitung. Bagi teman-temannya, B adalah nilai yang baik, tetapi bagi Arman, B adalah titik tengah yang selalu mengingatkannya untuk berbuat lebih.

Tahun terakhir kuliah pun tiba. Ujian akhir semester itu adalah ujian yang paling menentukan, yang akan menutup perjalanan panjangnya di bangku kuliah. Arman merasakan kecemasan yang luar biasa. Di hadapan mereka semua, ada satu sosok yang dianggap sebagai simbol ketegasan---Profesor Hadi. Dosen filsafat yang sangat dihormati itu dikenal jarang sekali memberikan nilai A, hanya pada mereka yang dianggap benar-benar sempurna dalam memahami dan mengaplikasikan ilmu.

"Arman, ujian kali ini adalah ujian yang tak mudah," ujar Profesor Hadi suatu hari saat kuliah terakhir. "Bagi saya, nilai A bukan hanya sekedar angka. Itu adalah simbol dari mereka yang benar-benar mengerti inti dari ilmu ini."

Arman merasa terhimpit. Ia tahu bahwa Profesor Hadi bukanlah orang yang mudah memberi pujian, apalagi memberikan nilai A.

Saat ujian dimulai, suasana di ruang kelas terasa mencekam. Soal-soal yang diberikan sangat sulit dan penuh dengan pertanyaan-pertanyaan mendalam. Arman berusaha keras, namun waktu seolah melarikan diri. Ia merasa tangannya mulai gemetar, dan keringat dingin mulai mengalir di dahinya. Soal yang paling sulit membuatnya bingung. Ia merasa tak mampu menjawabnya dengan sempurna.

Tiba-tiba, dalam kegelisahannya, ia teringat percakapan lama dengan Rina yang pernah berkata padanya, "Arman, nilai itu memang penting, tapi bukan segalanya. Yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa mengerti, bukan hanya menghafal."

Arman terdiam. Perlahan ia menyadari, selama ini ia selalu berfokus pada angka, bukan pada pemahaman sesungguhnya. Ia menatap soal ujian yang ada di depannya, dan untuk pertama kalinya, ia memutuskan untuk menulis apa yang benar-benar ia pahami, tanpa peduli apakah itu sempurna atau tidak. Ia ingin memberikan jawaban yang mencerminkan pemikirannya sendiri.

"Apa yang sebenarnya ingin aku katakan di sini?" pikir Arman. "Apa yang aku pahami tentang filsafat ini, tentang kehidupan? Apa yang membuatku merasa lebih hidup ketika mempelajarinya?"

Arman mulai menulis dengan penuh keyakinan, membiarkan kata-kata itu mengalir, bukan sekadar menulis jawaban yang diinginkan Profesor Hadi. Ia menulis dengan tulus, mencoba mengungkapkan pemikirannya, meskipun ia tahu jawabannya mungkin tidak sesuai dengan harapan semua orang. Ia berhenti hanya ketika waktu hampir habis, tetapi hatinya terasa lega.

"Sudah cukup," bisiknya pada diri sendiri. "Aku sudah memberikan yang terbaik."

Setelah beberapa minggu, akhirnya pengumuman hasil ujian diumumkan. Arman berjalan ke papan pengumuman dengan hati yang berdebar. Teman-temannya sudah berkumpul di sekitar papan, beberapa tampak penuh harap, lainnya terlihat cemas. Ketika matanya menangkap nama dan nilai yang tertera, ia berhenti sejenak.

Nama Arman tertera di sana, dan di sampingnya tertulis huruf A.

"Tidak mungkin..." Arman bergumam. Seluruh ruangan terdiam, lalu suara bisik-bisik mulai terdengar. Beberapa teman-temannya yang sering mendapatkan nilai tinggi tampak terkejut, sementara yang lainnya hanya bisa menatap Arman dengan mata melongo.

"Arman, kamu dapat A?" tanya Rina dengan tatapan tak percaya.

Arman hanya tersenyum, meskipun hatinya berdebar. "Aku... aku nggak tahu harus bilang apa, Rin. Aku cuma merasa itu yang terbaik yang bisa aku lakukan."

Pada saat itu, Profesor Hadi datang mendekat. Ia menatap Arman dengan mata yang penuh makna. "Arman," kata Profesor Hadi dengan suara lembut, "A bukan hanya soal jawaban yang tepat. A adalah untuk mereka yang mampu meresapi setiap pertanyaan, yang tidak hanya mencari jawaban, tetapi juga mampu menggali maknanya lebih dalam. Kamu telah melakukannya, Arman."

Arman menunduk, merasa sesuatu yang sangat berat di dadanya perlahan menghilang. Ia merasa lega, tidak hanya karena nilai A yang tak pernah ia duga, tetapi juga karena ia merasa menemukan makna yang lebih besar dari sekadar angka.

Nilai A itu bukan lagi tanda dari kesempurnaan yang tidak mungkin dijangkau, melainkan sebuah pengakuan atas perjalanan yang penuh usaha dan refleksi. Arman sadar bahwa perjalanan itu jauh lebih berarti daripada angka yang tercetak di kertas ujian.

"Wallahu a'lam bi syawab," bisik Arman dalam hati, merasa semakin yakin bahwa yang paling penting bukanlah angka yang dicapai, melainkan apa yang kita pelajari dalam perjalanan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun