Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Puasa Ngebleng

20 November 2024   14:27 Diperbarui: 20 November 2024   14:29 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Hari itu, langit tampak kelabu, berbalut kabut tipis yang menutupi desa di ujung selatan. Angin berdesir pelan, seakan berusaha mengingatkan Sinta akan keputusan besar yang tengah ia ambil. Di ruang tamu rumahnya yang sempit dan penuh debu, Sinta duduk bersila di atas tikar usang, kitab kuning di tangannya telah mengelupas di pinggirannya. Piring kosong yang diletakkan di depan seakan mencerminkan kekosongan hatinya. Sebuah gelas air putih menjadi satu-satunya teman, yang hampir tak tersentuh sejak pagi.

Arga, suaminya, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi cemas. "Kenapa kamu harus lakukan ini, Sint?" suaranya penuh kekhawatiran, tergetar karena sudah merasa ketakutan yang mendalam.

Sinta menoleh, matanya kosong dan suaranya datar. "Karena aku harus. Tidak ada cara lain, Arga. Jika ini gagal, kita akan terus terperangkap dalam utang. Kau tahu itu."

Arga menatapnya dengan rasa tak percaya. Ia telah melihat istrinya melewati banyak puasa: Senin-Kamis, pasa mutih, bahkan ngrowot. Namun, puasa ngebleng adalah sesuatu yang berbeda. Puasa yang katanya bisa membuka pintu kemudahan, namun dengan pengorbanan yang bisa memisahkan dunia nyata dengan dunia gaib.

"Jangan, Sint... ini bukan jalan yang benar. Kau tahu bahwa ada banyak cerita buruk tentang orang-orang yang mencoba ini," kata Arga, suaranya kini bergetar, cemas akan apa yang mungkin terjadi.

Sinta menatap Arga dengan tajam. "Kamu tidak mengerti. Jika aku tidak lakukan ini, siapa lagi yang akan menyelamatkan kita dari semua ini?"

Hari demi hari, Sinta semakin tenggelam dalam ritualnya. Ia hanya minum sedikit air putih, tidak makan sedikit pun. Hanya mendengarkan takbir yang datang dari radio, mengulang doa-doa yang sulit dimengerti. Semua pekerjaan rumah ditinggalkan, anak-anaknya dibiarkan sendiri, dan rumah tampak semakin berantakan. Namun, Sinta tidak peduli. Ia percaya pada kekuatan puasa ngebleng yang akan mengubah segalanya.

Pada malam ke-7, langit di luar tampak semakin gelap. Angin berdesir lebih kencang, menggetarkan daun-daun yang berguguran di halaman. Sinta tiba-tiba terbangun dari tidurnya, tubuhnya gemetar. Wajahnya pucat pasi, matanya terbuka lebar seperti melihat sesuatu yang tak kasat mata. Sesuatu yang mengerikan.

"Arga... kau tak mengerti..." suaranya tiba-tiba berubah, serak dan dalam. "Mereka datang... mereka datang untuk menagih semuanya..."

Arga terperanjat, tubuhnya gemetar saat melihat istrinya dalam kondisi seperti itu. Ia mengguncang-guncang tubuh Sinta, berusaha membangunkannya. "Sinta! Bangun! Ini bukan dirimu!"

Namun Sinta tetap terdiam, matanya kosong, bibirnya bergerak, tetapi suaranya tidak berasal dari mulutnya. "Aku... aku harus menebus semuanya... semuanya harus selesai..."

Arga terhenyak. Tubuhnya seperti dibekukan oleh ketakutan. Suara itu bukan milik Sinta. Itu suara yang lebih dalam, seperti berasal dari dunia yang jauh lebih gelap. Arga merasakan kegelapan itu semakin menguasai mereka.

Dengan panik, ia berlari keluar rumah, memanggil kakek Sinta yang sudah lama tidak terlihat. Kakek itu dikenal dengan pemahaman mendalam tentang tradisi dan dunia gaib. Tidak lama kemudian, kakek itu tiba dengan wajah serius, matanya memancarkan kekhawatiran.

"Kakek, tolong..." kata Arga dengan suara serak, menahan air mata yang hampir pecah. "Apa yang terjadi pada Sinta? Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan."

Kakek itu mengangguk, mendekati Sinta yang duduk terdiam, tubuhnya kaku dan wajahnya kosong. Ia duduk bersila di hadapan Sinta, mulai melafalkan doa-doa dan mantra-mantra yang hanya dimengerti oleh sedikit orang. Angin di sekitar mereka mulai berputar kencang, dan udara terasa semakin berat.

"Pasa ngebleng ini bukan hal yang sederhana, Arga," kata kakek itu dengan suara dalam, seakan menambah ketegangan. "Puasa ini menghubungkan dunia nyata dengan dunia lain. Dan Sinta sudah membuka pintu yang seharusnya tak boleh disentuh oleh manusia."

Saat itu, tubuh Sinta bergerak tanpa kendali. Ia berdiri dan melangkah dengan kecepatan yang tak wajar, menuju hutan di belakang rumah. Arga berlari mengikutinya, nafasnya terengah-engah, ketakutan melanda dirinya.

"Sinta! Kembali!" teriak Arga, namun Sinta tetap melangkah tanpa menoleh.

Di tengah hutan, Sinta berhenti. Wajahnya kosong, matanya menatap langit yang dipenuhi awan gelap. Tubuhnya seolah terhisap oleh sesuatu yang tak tampak, namun kuat sekali. Di sekelilingnya, udara terasa begitu tebal, dan sebuah suara keras terdengar dari dalam dirinya.

"Ini adalah akhir, Sinta. Tidak ada yang bisa kembali setelah ini," suara itu berbicara lagi, kini lebih dalam, lebih mengerikan.

Arga berdiri di belakangnya, terengah-engah. "Sinta... apa yang sedang terjadi? Apa yang telah kau lakukan?" suaranya pecah, penuh kebingungan.

Sinta menoleh dengan senyuman yang mengerikan. "Ini adalah harga yang harus aku bayar, Arga. Aku sudah cukup lama hidup dalam kebohongan ini. Aku... aku harus membayar semuanya."

Tanpa peringatan, Sinta jatuh ke tanah dengan suara mengerikan. Tubuhnya mengeras, tidak bergerak lagi. Arga berlari menghampirinya, namun sudah terlambat. Sinta telah menghilang, hanya menyisakan jejak kaki yang hilang ditelan kabut hutan yang tebal.

Kakek Sinta datang terlambat, hanya bisa menatap tempat Sinta terjatuh dengan tatapan kosong. Ia menggenggam tangan Arga yang gemetar.

"Kadang, ada harga yang harus dibayar untuk sesuatu yang tak kita pahami. Sinta telah membuka pintu yang seharusnya tidak ia sentuh," kata kakek itu dengan pelan, nadanya penuh dengan penyesalan.

Arga menatap kosong ke arah tempat Sinta terjatuh. Hatinya hancur, lebih hancur dari yang pernah ia bayangkan. Tak ada yang bisa membawanya kembali. Puasa ngebleng telah mengubah hidupnya selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun