Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Laku Prihatin

19 November 2024   20:49 Diperbarui: 19 November 2024   22:00 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi prihatin | lektur.id

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di sebuah desa terpencil yang terlindungi pepohonan lebat, hidup seorang pemuda bernama Jati. Ia adalah anak seorang pemimpin desa kaya, namun sifatnya bertolak belakang dengan gelar ayahnya. Jati pemalas, terlalu gemar makan, dan hobinya tidur seharian.

Ibunya, seorang perempuan bijak yang sudah lelah menasehati, suatu sore berkata, "Jati, hidup ini bukan cuma soal perut kenyang dan badan segar. Kau harus lebih peka. Hiduplah seperti manusia sejati, bukan sekadar tubuh."

Jati hanya mendengus sambil mengunyah mangga. "Hidup ini sederhana, Bu. Kalau bisa makan dan tidur, untuk apa repot memikirkan yang tidak-tidak?"

Namun, malam itu, mimpinya berbeda. Ia berada di sebuah hutan sunyi, penuh pepohonan yang bergoyang meski tanpa angin. Seorang lelaki tua berjubah putih muncul di hadapannya. Matanya tajam seperti pisau, menusuk langsung ke dalam hati Jati.

"Siapa kau?" tanya Jati, bingung.

"Yang kau butuhkan," jawab lelaki itu singkat. Ia lalu melantunkan Tembang Kinanthi dari Serat Wulangreh. Suaranya bergema di antara pohon-pohon, seperti bisikan angin yang membawa kebenaran.

"Kurangi makan dan tidur?" gumam Jati, bingung. "Kenapa? Aku hidup baik-baik saja selama ini."

"Baik-baik saja? Kau seperti pohon mati yang berdiri tanpa akar. Jika badai datang, kau akan tumbang, bahkan sebelum sempat bertahan," kata lelaki tua itu sambil menunjuk ke arahnya.

Jati terbangun dengan napas tersengal. Kata-kata lelaki itu bergema di telinganya, mengguncang pikirannya.

Jati mulai mencoba. Ia bangun lebih pagi, membaca kitab-kitab lama yang berdebu, dan membantu ibunya di kebun. Perlahan, tubuhnya terasa lebih ringan, pikirannya lebih jernih. Namun, perubahan itu justru menuai konflik dengan ayahnya.

"Apa yang kau lakukan, Jati? Sejak kapan kau jadi orang suci?" tanya ayahnya dengan nada sinis.

"Sejak aku sadar, Ayah, bahwa hidup ini bukan hanya soal uang," jawab Jati dengan tegas.

Ayahnya menatapnya tajam. "Jangan sok bijak di depanku! Dunia ini milik mereka yang punya kekuasaan. Orang-orang seperti kau tak akan pernah bertahan. Kau pikir sikap filosofismu itu bisa menyelamatkan desa ini?!"

Jati terdiam. Namun hatinya bergolak. Ia tahu, ayahnya tengah memimpin rencana besar untuk menebang hutan desa demi keuntungan pribadi.

Hari itu, Jati berdiri di depan seluruh warga desa, menentang keputusan ayahnya. "Jika kita menebang hutan ini, kita tidak hanya menghancurkan pohon-pohon, tapi juga masa depan anak-anak kita!" katanya.

Ayahnya menatap Jati dengan tatapan dingin. "Kau bicara seolah pahlawan, Jati. Tapi hidup ini soal kenyataan, bukan idealisme kosong."

Warga mulai goyah. Sebagian mendukung Jati, namun yang lainnya takut kepada ayahnya. Akhirnya, keputusan tetap jatuh pada penebangan hutan.

Seminggu kemudian, badai besar melanda. Banjir dan tanah longsor menghancurkan desa. Rumah Jati dan keluarganya porak-poranda. Ayahnya ditemukan tewas tertimbun tanah. Warga kehilangan segalanya.

Di tengah kehancuran itu, Jati mendaki bukit, mencoba mencari ketenangan. Di puncaknya, ia kembali bertemu lelaki tua dari mimpinya.

"Kau lagi?" tanya Jati dengan suara lirih.

Lelaki tua itu tersenyum tipis. "Aku telah memberi isyarat, tapi kalian terlalu banyak makan dan tidur untuk mendengarnya."

Jati menatap lelaki tua itu, merasakan kehampaan yang tidak bisa ia lawan. "Apakah sudah terlambat?" tanyanya.

"Bagi sebagian besar, ya," jawab lelaki itu sambil memandang ke arah desa yang tenggelam. "Namun kau masih punya pilihan. Dengarkan lebih banyak, lakukan lebih sedikit."

Lelaki tua itu lenyap. Jati memejamkan mata, memikul rasa bersalah yang terlalu berat. Desa itu tidak akan pernah sama, dan Jati tahu, dirinya pun tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun