Jati mulai mencoba. Ia bangun lebih pagi, membaca kitab-kitab lama yang berdebu, dan membantu ibunya di kebun. Perlahan, tubuhnya terasa lebih ringan, pikirannya lebih jernih. Namun, perubahan itu justru menuai konflik dengan ayahnya.
"Apa yang kau lakukan, Jati? Sejak kapan kau jadi orang suci?" tanya ayahnya dengan nada sinis.
"Sejak aku sadar, Ayah, bahwa hidup ini bukan hanya soal uang," jawab Jati dengan tegas.
Ayahnya menatapnya tajam. "Jangan sok bijak di depanku! Dunia ini milik mereka yang punya kekuasaan. Orang-orang seperti kau tak akan pernah bertahan. Kau pikir sikap filosofismu itu bisa menyelamatkan desa ini?!"
Jati terdiam. Namun hatinya bergolak. Ia tahu, ayahnya tengah memimpin rencana besar untuk menebang hutan desa demi keuntungan pribadi.
Hari itu, Jati berdiri di depan seluruh warga desa, menentang keputusan ayahnya. "Jika kita menebang hutan ini, kita tidak hanya menghancurkan pohon-pohon, tapi juga masa depan anak-anak kita!" katanya.
Ayahnya menatap Jati dengan tatapan dingin. "Kau bicara seolah pahlawan, Jati. Tapi hidup ini soal kenyataan, bukan idealisme kosong."
Warga mulai goyah. Sebagian mendukung Jati, namun yang lainnya takut kepada ayahnya. Akhirnya, keputusan tetap jatuh pada penebangan hutan.
Seminggu kemudian, badai besar melanda. Banjir dan tanah longsor menghancurkan desa. Rumah Jati dan keluarganya porak-poranda. Ayahnya ditemukan tewas tertimbun tanah. Warga kehilangan segalanya.
Di tengah kehancuran itu, Jati mendaki bukit, mencoba mencari ketenangan. Di puncaknya, ia kembali bertemu lelaki tua dari mimpinya.
"Kau lagi?" tanya Jati dengan suara lirih.