OLEH: Khoeri Abdul Muid
Mentari sore menembus kaca mobil, menemani perjalanan kami menuju Sinjay. Aku, Yam, dan beberapa teman, capek setelah berburu oleh-oleh di Genteng. Mobil terasa pengap oleh tumpukan tas kresek berisi aneka kue kering dan keripik.
"Yam, makan dulu, yuk. Sinjay, setuju?" kataku sambil menepuk bahunya.
Yam hanya mengangguk, tatapannya menerawang ke luar jendela. "Iya, aku lapar."
Sinjay sudah jauh berbeda dari pertama kali aku ke sana. Restorannya kini besar, penuh orang, dan atmosfernya terasa hidup. Semua orang terlihat sama: lapar, tergiur aroma sambal pencitt.
Pelayan datang. Aku langsung pesan, "Bebek goreng satu, sambel pencitt banyak, ya."
Giliran Yam. Dia menatap pelayan tanpa ekspresi. "Ayam goreng satu."
Aku melongo. "Serius, Yam? Ayam? Ini Sinjay!"
Dia hanya tersenyum tipis. "Kenapa? Salah, ya?"
Aku mendengus, membiarkannya. Yam memang aneh, tapi itu bagian dari dirinya yang kami terima.