"Urusan apa?"
"Nyelesaikan sesuatu," jawabnya singkat.
Dua minggu kemudian, aku menerima telepon yang membuatku membeku. Yam ditemukan meninggal di sebuah kamar hotel kecil di Surabaya. Sebuah surat ada di samping tubuhnya.
"Aku pernah bilang soal bebek, kan? Sebenarnya bukan ayahku yang membunuh bebek itu. Aku yang melakukannya. Dan itu bukan bebek biasa. Itu bebek peliharaan kakakku. Dia marah besar, dan sejak hari itu, dia nggak pernah mau bicara lagi denganku. Malam ini, aku mau minta maaf... meski dia sudah lama tiada."
Aku tertegun membaca surat itu. Semua yang terjadi di Sinjay---ayamnya, sambel pencitt-nya, tatapan kosong Yam---tiba-tiba terasa begitu nyata. Perjalanan terakhirnya di Surabaya bukan sekadar makan ayam di resto nasi bebek. Itu adalah caranya berdamai dengan masa lalu yang membelenggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H