Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit yang Tertunduk

19 November 2024   06:55 Diperbarui: 19 November 2024   06:57 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

0LEH: Khoeri Abdul Muid

Langit sore itu berwarna kelabu, seperti bersekongkol dengan suasana hati Arjuna yang penuh beban. 

Ia berdiri di depan makam ayahnya, tanahnya masih basah dan harum dupa menyengat di udara dingin. Angin berembus pelan, melipat daun-daun kering ke arah kakinya. Tangannya gemetar saat menyentuh nisan sederhana bertuliskan nama ayahnya. Sejenak, hanya suara burung gagak yang memecah keheningan.

“Pak, apakah ini benar-benar jalan yang harus saya tempuh?” bisiknya dengan suara parau. Namun, hanya angin yang menjawab, melarutkan kata-katanya ke udara yang dingin.

Di sisi lain kota, Pramudya duduk di ruang kantornya yang terasa lebih dingin dibandingkan udara di luar. Lampu neon berpendar kuning, memantulkan bayangannya di kaca jendela. Dokumen tebal di mejanya menyita perhatiannya. Di antara kertas-kertas itu, sebuah foto keluarganya tergeletak, menjadi pengingat tentang alasan ia bertahan di jalur yang kini membelit hidupnya.

Malam sebelum keputusan itu, ia berdiri lama di balkon apartemennya, memandang gemerlap lampu kota yang terasa hampa. "Jika aku menolak, mereka akan menghancurkan segalanya—keluargaku, hidupku. Tapi... apa ini harga yang harus kubayar untuk melindungi mereka?" gumamnya pelan. Bayangan percakapan terakhirnya dengan Arjuna kembali terngiang. “Kebenaran tidak butuh banyak alasan, Pram. Kau tahu itu,” suara Arjuna bergema dalam pikirannya, membawa luka yang dalam.

Namun, di mata Pramudya, kebenaran kini hanyalah kemewahan. Ancaman nyata membuatnya harus memilih antara idealisme dan perlindungan bagi orang-orang yang ia cintai.

Auditorium kampus dipenuhi sorak-sorai mahasiswa, menciptakan suasana panas yang memuncak. Di atas panggung, Pramudya berdiri berhadapan dengan Arjuna. Lampu sorot menerangi wajah mereka, menampilkan kontras tajam antara ketenangan Arjuna dan kegelisahan yang berusaha disembunyikan Pramudya.

“Kau berbicara tentang perubahan,” seru Arjuna dengan suara lantang. “Tapi kau lupa bahwa perubahan tanpa integritas hanya akan membawa kehancuran!”

Pramudya menarik napas panjang. “Integritas adalah konsep yang indah, Arjuna. Tapi di dunia nyata, kita harus tahu kapan berkompromi demi tujuan yang lebih besar,” jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan.

Arjuna maju selangkah, menatap langsung ke mata Pramudya. “Tujuan apa yang lebih besar dari kebenaran?” katanya pelan, namun suaranya menggema dengan kekuatan yang tak terbantahkan.

Di balik podium, tangan Pramudya mengepal. Dalam dirinya, konflik memuncak. Ia memikirkan keluarganya, ancaman yang menggantung di udara, dan janjinya pada diri sendiri untuk bertahan. Tapi di hadapan Arjuna, keyakinannya mulai runtuh.

Beberapa hari setelah debat itu, sebuah amplop tanpa nama tiba di meja Pramudya. Isinya adalah sebuah foto Arjuna, berdiri di depan sebuah gedung tua, wajahnya terlihat tegas namun waspada. Di bagian belakang foto tertulis sebuah pesan singkat: "Dia berikutnya."

Sementara itu, Arjuna berjalan di sepanjang trotoar gelap, menikmati udara malam yang dingin. Namun, langkah-langkah di belakangnya mulai terdengar samar. Ia berhenti dan menoleh, tetapi jalan di belakangnya kosong, hanya diterangi lampu jalanan yang redup. Rasa dingin merayap dari tengkuknya hingga ke ujung jari.

Di tempat lain, Pramudya duduk dengan tubuh lunglai. Amplop itu tergeletak di atas meja, membuka babak baru dari kekuasaan yang menakutkan. Ia tahu bahwa keputusan telah dibuat dan tak ada jalan kembali. Namun, dalam hatinya, ia berdoa agar kebenaran tidak benar-benar mati malam itu.

Langit di luar kantornya, seperti saat Arjuna berdiri di depan makam ayahnya, kembali tertunduk kelabu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun