Arjuna maju selangkah, menatap langsung ke mata Pramudya. “Tujuan apa yang lebih besar dari kebenaran?” katanya pelan, namun suaranya menggema dengan kekuatan yang tak terbantahkan.
Di balik podium, tangan Pramudya mengepal. Dalam dirinya, konflik memuncak. Ia memikirkan keluarganya, ancaman yang menggantung di udara, dan janjinya pada diri sendiri untuk bertahan. Tapi di hadapan Arjuna, keyakinannya mulai runtuh.
Beberapa hari setelah debat itu, sebuah amplop tanpa nama tiba di meja Pramudya. Isinya adalah sebuah foto Arjuna, berdiri di depan sebuah gedung tua, wajahnya terlihat tegas namun waspada. Di bagian belakang foto tertulis sebuah pesan singkat: "Dia berikutnya."
Sementara itu, Arjuna berjalan di sepanjang trotoar gelap, menikmati udara malam yang dingin. Namun, langkah-langkah di belakangnya mulai terdengar samar. Ia berhenti dan menoleh, tetapi jalan di belakangnya kosong, hanya diterangi lampu jalanan yang redup. Rasa dingin merayap dari tengkuknya hingga ke ujung jari.
Di tempat lain, Pramudya duduk dengan tubuh lunglai. Amplop itu tergeletak di atas meja, membuka babak baru dari kekuasaan yang menakutkan. Ia tahu bahwa keputusan telah dibuat dan tak ada jalan kembali. Namun, dalam hatinya, ia berdoa agar kebenaran tidak benar-benar mati malam itu.
Langit di luar kantornya, seperti saat Arjuna berdiri di depan makam ayahnya, kembali tertunduk kelabu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H