"Kamu tahu kan aku cinta kamu?" Doni melanjutkan.
Rani memalingkan wajah. "Cinta saja enggak cukup, Don."
Doni tersenyum kecil, getir. "Iya. Tapi cinta yang memulai semuanya. Tanpa itu, enggak akan ada alasan untuk mencoba."
Keheningan menggantung.
Rani menarik napas panjang, mencoba meredam api di dadanya. "Oke, aku akan mencoba," katanya pelan.
Doni mengangguk. "Aku juga."
Namun, saat Doni kembali duduk, Rani memperhatikan matanya. Ada sesuatu yang berbeda---kosong, seperti gelas yang baru saja dilemparnya.
Seminggu kemudian, Rani pulang lebih awal. Rumah sepi. Gelas retak masih ada di rak, utuh, tapi retaknya terlihat lebih jelas di bawah sinar matahari sore.
Ia masuk kamar, mendapati lemari Doni terbuka. Baju-bajunya hilang. Di atas bantal, ada surat:
"Rani, aku pergi. Bukan karena aku menyerah, tapi aku ingin kita punya ruang untuk menyembuhkan. Kita bukan gelas retak yang bisa terus dipakai. Kita butuh bentuk baru---lebih kokoh. Aku akan kembali, kalau kamu juga mau memperbaiki semuanya. Sampai saat itu, jagalah diri. Doni."
Rani duduk di tepi ranjang. Surat itu gemetar di tangannya. Air mata mengalir deras, tetapi bukan kemarahan yang ia rasakan kali ini---melainkan hampa.