Bima menggigit bibir, mencoba mencari kata-kata. "Takut... pada jawabanmu."
Lara mengangguk perlahan, seolah telah mengantisipasi jawaban itu sejak lama. "Jadi... seperti biasa, semua tentang kamu, ya?"
Lara menyelipkan seuntai rambut di belakang telinganya, dan untuk sesaat, Bima merasa ada yang janggal dengan bayangannya di dinding. Tiba-tiba, suara hujan di luar terasa jauh. Udara di ruangan itu kian membeku, dan sesuatu yang lain mengisi aroma kopi yang samar: bau tanah basah.
Bima merasakan detak jantungnya berdentum keras. Pandangannya mulai kabur, kabut tipis menutupi ingatannya, tapi potongan malam itu kian jelas---ia berdiri sendirian di bawah hujan deras, menatap punggung Lara yang semakin jauh, hingga bayangannya menghilang di kegelapan.
"Ah, Bima," suara Lara seperti angin, berdesir di antara keheningan yang menekan. "Aku tidak datang untuk mengingat atau memaafkanmu. Aku datang hanya untuk mengatakan... lepaskan aku."
Bima bergidik, matanya melebar. "Apa maksudmu?"
Lara tersenyum kecil, senyum yang semakin kabur, seperti bayangan. "Aku sudah tiada, Bima. Aku pergi dua tahun yang lalu... tepat di malam hujan itu."
Bima terkesiap, tubuhnya membeku. Suara hujan lenyap sepenuhnya, dan ruangan itu berubah dingin, membisukan. Pandangannya beralih ke kursi di seberang, dan ia kini sadar, hanya ada secangkir kopi yang masih mengepul di sana---kopi yang tak pernah disentuh siapa pun.
Kepalanya berdenyut, lalu tiba-tiba ia melihatnya---sepotong kertas kecil di atas meja, kertas yang basah dan kumal. Perlahan ia mengambilnya, menahan napas saat membaca tulisan tangan di situ:
"Selamat tinggal, Bima. Aku tak lagi menunggumu."
Hujan kembali turun deras, tapi kini ia tahu... Lara tak pernah ada di sana.