Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

Kepala Sekolah SDN Kuryokalangan 02, Gabus Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Kenangan yang Hilang

15 November 2024   11:44 Diperbarui: 15 November 2024   12:21 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

"Ini semua bukan kebetulan," ucap Bima dengan suara serak, tatapannya menembus derasnya hujan di luar jendela yang nyaris gelap.

Lara duduk di depannya, wajahnya tirus dalam cahaya redup yang tak biasa. Ia menggenggam secangkir kopi, mengepulkan uap tipis yang samar. "Kalau begitu, kenapa aku harus datang? Apa gunanya aku mencoba mengingat kalau pada akhirnya kau selalu berpikir begini?"

Bima menelan ludah, tertegun oleh kata-katanya. Kata-kata itu menghantamnya seperti angin dingin yang menerobos jendela. Setiap kali ia menutup mata, bayangan malam itu, di sudut kota di bawah lampu jalan yang temaram, muncul kembali---malam ketika ia memilih pergi, meninggalkan Lara dalam derasnya hujan. Malam yang mengubah segalanya.

"Aku cuma... aku cuma ingin tahu. Siapa aku di matamu," ucapnya pelan, seperti menggumam, hampir untuk dirinya sendiri.

Lara tersenyum tipis, getir, seperti menahan tawa. "Kau selalu ingin tahu segalanya, Bima. Kau ingin aku mengingat, tapi ketika aku mencoba, kau malah pergi. Kau ingin jawaban, tapi selalu takut mendengar jawabanku."

Bima menatapnya dalam-dalam, merasa ada yang aneh---sesuatu yang tak biasa, yang tak pernah ia sadari. Tatapannya yang dulu terasa hangat, kini terasa dingin dan asing. Kilatan dari hujan di luar tampak memudar, menyisakan sunyi yang menyesakkan. Bima merasakan ruangan itu semakin gelap, seolah lampu meredup satu per satu.

"Jadi... apa sekarang, Bima?" Lara mendekat, hanya beberapa inci dari wajahnya. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?"

Bima merasakan napasnya terhenti, seperti ada sesuatu yang menekan dadanya. "Mungkin... mungkin aku cuma takut."

"Takut pada apa?" bisik Lara, begitu lembut tapi menusuk.

Bima menggigit bibir, mencoba mencari kata-kata. "Takut... pada jawabanmu."

Lara mengangguk perlahan, seolah telah mengantisipasi jawaban itu sejak lama. "Jadi... seperti biasa, semua tentang kamu, ya?"

Lara menyelipkan seuntai rambut di belakang telinganya, dan untuk sesaat, Bima merasa ada yang janggal dengan bayangannya di dinding. Tiba-tiba, suara hujan di luar terasa jauh. Udara di ruangan itu kian membeku, dan sesuatu yang lain mengisi aroma kopi yang samar: bau tanah basah.

Bima merasakan detak jantungnya berdentum keras. Pandangannya mulai kabur, kabut tipis menutupi ingatannya, tapi potongan malam itu kian jelas---ia berdiri sendirian di bawah hujan deras, menatap punggung Lara yang semakin jauh, hingga bayangannya menghilang di kegelapan.

"Ah, Bima," suara Lara seperti angin, berdesir di antara keheningan yang menekan. "Aku tidak datang untuk mengingat atau memaafkanmu. Aku datang hanya untuk mengatakan... lepaskan aku."

Bima bergidik, matanya melebar. "Apa maksudmu?"

Lara tersenyum kecil, senyum yang semakin kabur, seperti bayangan. "Aku sudah tiada, Bima. Aku pergi dua tahun yang lalu... tepat di malam hujan itu."

Bima terkesiap, tubuhnya membeku. Suara hujan lenyap sepenuhnya, dan ruangan itu berubah dingin, membisukan. Pandangannya beralih ke kursi di seberang, dan ia kini sadar, hanya ada secangkir kopi yang masih mengepul di sana---kopi yang tak pernah disentuh siapa pun.

Kepalanya berdenyut, lalu tiba-tiba ia melihatnya---sepotong kertas kecil di atas meja, kertas yang basah dan kumal. Perlahan ia mengambilnya, menahan napas saat membaca tulisan tangan di situ:

"Selamat tinggal, Bima. Aku tak lagi menunggumu."

Hujan kembali turun deras, tapi kini ia tahu... Lara tak pernah ada di sana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun