Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rengkuhan Terakhir

14 November 2024   16:06 Diperbarui: 14 November 2024   16:22 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Langit Chiang Mai sore itu tampak kelabu, seakan menyimpan pertanda.

Desa gajah yang kami kunjungi penuh dengan orang yang berdecak kagum, menonton para gajah yang menunjukkan kebolehannya. Di tepi arena, aku berdiri dengan penuh antusiasme, sementara di sampingku Dr. Maya, pembimbing sekaligus dosen yang terkenal ketat, menatapku dengan pandangan khawatir.

"Amira, jangan terlalu dekat. Gajah itu, sebesar apa pun jinaknya, tetaplah hewan liar," katanya tegas.

Aku hanya tertawa kecil. "Ayolah, Prof! Hidup itu harus penuh petualangan, kan?"

Mendengar jawabanku, wajahnya menegang. Ini bukan kali pertama kami berbeda pendapat. Sejak awal, aku sering merasa terkekang oleh aturan-aturannya yang ketat dan selalu ingin mendikte segala langkahku.

Aku melangkah lebih dekat ke arah gajah yang sedang bermain dengan belalainya. Tiba-tiba, gajah itu mengayunkan belalainya kuat ke arahku, nyaris mengenai wajahku. Aku terjatuh, tubuhku bergeser dari tempat semula.

"Lihat! Aku sudah bilang!" Dr. Maya berseru marah. "Kamu bisa saja terluka! Kamu keras kepala, Amira!"

Wajahku memerah, antara malu dan kesal. "Ini cuma masalah kecil! Prof selalu membesar-besarkan segalanya. Saya bisa menjaga diri!"

Setelah kejadian itu, hubunganku dengan Dr. Maya semakin renggang. Di kelas, ia semakin keras mengkritik setiap tugas yang kukerjakan. Aku sering mendapati tugas-tugasku dikembalikan penuh coretan, dengan komentar pedas yang menampar harga diriku. Tidak jarang, aku mendengar ia bicara pada rekan dosen lain, membahas kecerobohanku, seolah seluruh dunia harus tahu kekuranganku.

Di antara teman-teman, aku sering mengeluh, "Prof itu keras kepala! Tidak pernah mau mendengarkan siapa pun kecuali dirinya sendiri."

Temanku, Nia, yang menyaksikan semuanya, mencoba menenangkanku. "Amira, mungkin Prof Maya cuma khawatir padamu."

Aku hanya tertawa sinis. "Khawatir? Omong kosong!"

Hingga akhirnya, suatu hari aku mendengar kabar mengejutkan. Dr. Maya dikabarkan pingsan di ruang dosen, dan nyawanya tak tertolong. Kata orang, ia menderita penyakit jantung yang disembunyikan dari semua orang.

Aku membeku, tubuhku seakan lumpuh mendengar berita itu. Aku teringat hari di desa gajah itu, bagaimana Dr. Maya terus memperingatkanku, bagaimana ia melindungiku dengan sikap keras yang selama ini kupandang sebagai musuh. Semua kritiknya, kemarahannya, dan aturannya yang mengekang---semua itu hanyalah bentuk kepedulian yang sekarang baru kusadari.

Dengan hati remuk, aku membuka kembali foto-foto kunjungan ke desa gajah. Di salah satu foto, tampak Dr. Maya tersenyum kecil saat memandangi gajah-gajah yang saling merengkuh dengan belalai. 

Kini aku tahu, rengkuh itu adalah pesan tanpa kata yang dia berikan padaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun