Di antara teman-teman, aku sering mengeluh, "Prof itu keras kepala! Tidak pernah mau mendengarkan siapa pun kecuali dirinya sendiri."
Temanku, Nia, yang menyaksikan semuanya, mencoba menenangkanku. "Amira, mungkin Prof Maya cuma khawatir padamu."
Aku hanya tertawa sinis. "Khawatir? Omong kosong!"
Hingga akhirnya, suatu hari aku mendengar kabar mengejutkan. Dr. Maya dikabarkan pingsan di ruang dosen, dan nyawanya tak tertolong. Kata orang, ia menderita penyakit jantung yang disembunyikan dari semua orang.
Aku membeku, tubuhku seakan lumpuh mendengar berita itu. Aku teringat hari di desa gajah itu, bagaimana Dr. Maya terus memperingatkanku, bagaimana ia melindungiku dengan sikap keras yang selama ini kupandang sebagai musuh. Semua kritiknya, kemarahannya, dan aturannya yang mengekang---semua itu hanyalah bentuk kepedulian yang sekarang baru kusadari.
Dengan hati remuk, aku membuka kembali foto-foto kunjungan ke desa gajah. Di salah satu foto, tampak Dr. Maya tersenyum kecil saat memandangi gajah-gajah yang saling merengkuh dengan belalai.Â
Kini aku tahu, rengkuh itu adalah pesan tanpa kata yang dia berikan padaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H