Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka yang Terpendam

13 November 2024   04:44 Diperbarui: 13 November 2024   07:40 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Ponsel Rangga bergetar di tangannya, namun ia tak sanggup membuka pesan itu. Pesan dari Ratih, yang hanya muncul sesekali sejak mereka berpisah beberapa bulan lalu, terasa seperti pisau yang terus menggores luka di hatinya. Mata Rangga menatap kosong ke arah kafe yang penuh kenangan mereka, dan akhirnya ia pun teringat pada saat-saat terakhir bersama Ratih.

"Ini bukan salahku, Ratih!" seru Rangga waktu itu, suaranya penuh emosi. Dia tahu, di lubuk hatinya sendiri, argumen ini terdengar lemah, nyaris seperti penyangkalan.

Ratih menatapnya tajam, tatapannya seolah bisa menembus alasan-alasan yang Rangga coba bangun. "Kau bisa saja berkata apa saja, Rangga, tapi kau tahu benar bahwa setiap keputusan yang kita buat adalah tanggung jawab kita sendiri."

Rangga mengeraskan suara, hampir seperti menghardik, meski ia tak ingin menyakiti Ratih lebih jauh. "Kau tidak mengerti, Ratih! Aku butuh... aku butuh bahagia!"

Ratih tertawa kecil, getir. Senyum yang dulu menghangatkan hatinya kini berubah menjadi senyum pahit yang penuh kecewa. "Dan menurutmu, aku tidak berhak bahagia? Atau bahagiamu adalah satu-satunya yang penting?"

Dia mendekat, wajahnya penuh kesakitan, namun matanya tetap menantang. "Kesetiaan itu bukan untuk ditawar, Rangga. Ini adalah tentang pengendalian diri---bukan membenarkan setiap perasaan yang muncul hanya untuk merasa benar."

"Lalu, apa yang kau harapkan dariku, Ratih?" suaranya semakin lemah, terguncang antara rasa bersalah dan kebutuhan untuk membela dirinya sendiri.

"Aku harap kau bisa jujur pada dirimu sendiri. Tidak perlu melibatkan perasaan orang lain untuk menutupi kegelisahanmu." Ratih menghela napas panjang, seolah mencari kekuatan untuk melanjutkan kalimat terakhirnya. "Aku harap... kau menemukan kebahagiaan sejati, bukan sekadar pelarian dari kesepian."

Kata-katanya melayang di antara mereka, menusuk Rangga lebih dalam daripada yang ia bayangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun