OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pagi itu, aku datang lebih awal dari biasanya. Sepanjang perjalanan ke panti, berbagai perasaan berkecamuk di benakku. Terakhir kali aku bertemu ibu, ada senyum tipis yang ia berikan, tapi di balik senyumnya tersimpan luka yang membuat hatiku tetap gundah.
Begitu tiba di panti, seorang perawat menyapaku ramah. "Mas Bima, Bu Ningsih sedang di taman belakang. Sepertinya beliau menunggu Mas."
Aku mengangguk, mengucapkan terima kasih, lalu bergegas menuju taman belakang. Dari kejauhan kulihat ibu duduk di kursi roda, wajahnya menunduk sambil memandangi bunga anggrek yang bermekaran. Ketika aku mendekat, ia mendongak dan tersenyum.
"Nak, kamu datang juga..." suaranya lembut, penuh kehangatan.
"Iya, Bu. Maaf ya, minggu lalu nggak bisa ke sini," jawabku seraya berlutut di depannya, meraih tangan keriputnya.
Ibu menatap tanganku, mengusapnya pelan. "Ibu ngerti, kamu sibuk. Lagipula, ibu baik-baik aja di sini, kok."
Aku tersenyum samar, tapi hatiku masih berat. "Bu... tapi tetap saja, rasanya aku nggak pantas ninggalin ibu di sini. Harusnya aku bisa lebih berusaha biar ibu nggak perlu tinggal di panti."
Ibu menarik napas dalam-dalam, kemudian memandangku dalam. "Nak, rumah ini bukan tempat pembuangan. Justru, ini rumah baru untuk ibu di masa sekarang. Ibu nggak ingin kamu merasa bersalah."
Hening. Aku menunduk, tak bisa menahan air mata yang sudah menggenang. "Tapi, Bu... egois rasanya ninggalin ibu di sini."
Ibu menggenggam tanganku erat, wajahnya serius. "Dengar, Nak. Keputusan kamu nggak salah. Awalnya, ibu memang merasa ditinggalkan, tapi ibu sadar, kamu berusaha supaya ibu dirawat dengan baik. Di sini ibu menemukan teman, orang-orang yang mengerti. Ibu jadi paham bahwa anak-anak mereka juga tidak 'membuang', tapi menitipkan dengan harapan kami dirawat lebih baik."
Aku terdiam, merasa sesak mendengar pengakuan ibu. Dengan suara pelan, aku mencoba menawarkan lagi, "Kalau ibu mau, aku bisa usaha lebih lagi supaya ibu bisa pulang..."
Ibu tersenyum lembut, lalu menggeleng. "Nak, kamu tahu? Waktu kamu masih kecil, ibu selalu berpikir... bagaimana kalau suatu hari nanti ibu tidak bisa mandiri lagi? Bagaimana kalau ibu membuatmu repot?" Ia berhenti sejenak, menghela napas, lalu melanjutkan, "Tapi sekarang, ibu ingin belajar menerima. Ibu mau jadi sosok yang tidak bikin kamu khawatir."
Aku mengangguk perlahan, berusaha mencerna kata-kata ibu. Ada beban yang tiba-tiba terasa luruh, tapi masih ada pertanyaan yang mengganjal di hatiku.
"Bu, apa ibu benar-benar nggak sedih di sini?"
Ibu tertawa kecil, suaranya jernih. "Awalnya, iya. Ibu merasa tersakiti, merasa seperti ditinggalkan. Tapi setelah ibu lihat teman-teman di sini, ibu jadi sadar. Ini bukan akhir. Justru di sini, ibu menemukan arti pulang, karena ibu merasa tenang dan damai."
Dia menunjuk sekumpulan anggrek berwarna oranye dan ungu yang bermekaran di dekatnya. "Kamu tahu, anggrek ini bisa mekar di mana saja. Karena ia belajar beradaptasi, menerima tempat baru di mana pun ia ditempatkan. Sama seperti ibu... tempat ini mungkin bukan rumah yang dulu, tapi sekarang, inilah rumah ibu."
Aku tersenyum samar, berusaha menyembunyikan air mata yang mengalir. Anggrek-anggrek yang ia tunjuk tampak indah, seindah pemahaman ibu tentang kehidupannya di usia senja. "Mungkin aku yang perlu belajar dari ibu... belajar menerima."
Ibu mengangguk pelan. "Iya, Nak. Dan ingat, rumah bukan selalu soal tempat, tapi tentang perasaan. Di mana pun kamu tinggal, selama ada rasa cinta, di situlah rumahmu. Jadi, tenanglah. Ibu sudah bahagia di sini, dan kamu tidak perlu datang karena merasa bersalah. Datanglah saat kamu ingin berbagi cerita."
Aku mengangguk, memeluk ibu dengan erat. "Makasih, Bu... aku akan selalu ingat pesan ibu."
Sebelum aku pulang, ibu memberiku seikat anggrek yang dipetiknya. "Ini, Nak. Pandanglah anggrek ini kalau kamu rindu. Ingat, ibu selalu di rumah... di hatimu."
Aku mencium punggung tangannya, menahan haru. Saat berjalan meninggalkan panti, hatiku terasa lebih ringan. Aku tahu, ibu telah menemukan damainya, dan kini aku bisa pulang tanpa rasa sesal.
Di perjalanan pulang, aku terus menggenggam anggrek pemberian ibu. Mungkin suatu hari nanti, aku juga akan tiba di rumah sepuh ini---bukan sebagai orang yang 'dibuang', tapi sebagai seseorang yang telah pulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H