OLEH: Khoeri Abdul Muid
Sorakan meriah bergemuruh di aula besar kampus. Balon-balon beterbangan, bunga-bunga berwarna cerah menghiasi setiap sudut, dan wajah-wajah yang penuh senyum bangga menjadi latar hari wisuda itu. Di antara kerumunan, tampak sosok berbeda: seorang pria tua berkacamata tebal dan bertongkat. Dia adalah Pak Samin, dosen senior yang telah puluhan tahun mengajar di Fakultas Ilmu Komputer, dan hari ini hadir bukan sebagai dosen, melainkan sebagai sesama wisudawan.
Saat nama Pak Samin disebut untuk naik ke panggung, tepuk tangan dan sorakan riuh mengiringinya.
"Pak Samin!" teriak beberapa mahasiswa, "Pak, ayo semangat, Pak!"
Pak Samin tersenyum lembut, melambaikan tangan, dan berjalan perlahan ke panggung dengan bantuan tongkat. Di atas panggung, Raka, salah satu mahasiswa, berbisik, "Pak, gimana rasanya, Pak? Satu panggung sama kami, nih!"
Pak Samin terkekeh. "Rasanya... aneh, Raka. Selama ini, saya biasanya berdiri di sini sebagai dosen. Hari ini... saya berdiri di sini sebagai teman kalian." Dia menepuk bahu Raka. "Jadi, jangan panggil saya 'Pak' hari ini."
Mereka tertawa bersama, mengundang sorakan lebih keras dari teman-teman lain.
Di belakang panggung, Gera, seorang alumni Ilkom yang kini berwirausaha sebagai fotografer, sibuk mengatur kamera dan lampu. Pak Samin adalah pelanggan pertama dari usaha fotografi wisuda miliknya, IlusiFoto, dan Gera ingin memastikan semua momen Pak Samin terekam dengan sempurna.
"Kakek paling keren!" Gera memanggil dengan canda saat Pak Samin selesai diwisuda dan turun dari panggung.
Pak Samin tersenyum sambil mengangkat jempol, "Asal fotonya nggak bikin saya kelihatan sepuluh tahun lebih tua, ya."
"Pak Samin mah awet muda," jawab Gera. "Hari ini, Bapak nggak kelihatan beda sama kami."
Pak Samin tertawa. "Itu berlebihan, Gera. Tapi, terima kasih." Dia menepuk bahu Gera. "Semoga usahamu sukses, ya, Nak. Beranikan diri untuk gagal dan terus belajar."
"Siap, Pak!" sahut Gera, sembari menyiapkan pose untuk foto berikutnya.
Namun, suasana meriah berubah drastis saat nama Pak Samin dipanggil lagi, kali ini untuk menerima penghargaan khusus. Saat itu, Pak Samin tiba-tiba tersandung tongkatnya.
"Pak Samin!" Raka dan teman-teman di dekatnya langsung memegang tubuh beliau yang hampir terjatuh.
Pak Samin tertawa kecil, meski wajahnya terlihat pucat. "Aduh... anak-anak, saya memang sudah tua." Ia mengatur nafas sebentar lalu berkata, "Tapi... saya baik-baik saja."
Namun, saat Raka menuntunnya, Pak Samin tiba-tiba terdiam. Matanya perlahan menutup, tubuhnya melemah.
"Pak Samin! Pak!" Raka panik. "Tolong! Tolong, Pak Samin..."
Mahasiswa-mahasiswa lain berlarian, mencoba mencari bantuan. Aula hening, penuh kecemasan. Sementara itu, Gera yang ada di belakang panggung terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Dia menatap kameranya yang masih menyala, lalu beralih ke layar, memperlihatkan foto-foto terakhir Pak Samin yang tersenyum bahagia di atas panggung.
Esoknya, foto-foto itu menyebar di media sosial. Salah satunya adalah foto yang diambil Gera: Pak Samin berdiri sendiri di balik panggung, tersenyum lelah dengan mata berkilat, seolah sudah siap mengucapkan selamat tinggal pada panggung kehidupannya---tanpa kata terakhir, tapi penuh kebanggaan dan ketenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H