OLEH: Khoeri Abdul Muid
Malam datang perlahan, menyelimuti Surabaya dengan keheningan yang mencekam. Peluh, darah, dan debu masih membekas di jalanan, sementara bangunan-bangunan yang hancur mengeluarkan api yang terus membakar. Suara tembakan mulai mereda, tetapi hawa panas dari pertempuran yang baru saja berlangsung masih terasa. Di antara reruntuhan, seorang pemuda berkepala plontos berdiri tegak. Napasnya terengah-engah, tetapi matanya tetap tajam menatap Jembatan Merah, tempat yang menjadi saksi bisu dari banyaknya nyawa yang melayang.
Pada 30 Oktober 1945, di tepi Jembatan Merah, Brigjen A.W.S. Mallaby, komandan Brigade 49 Tentara Sekutu, berdiri dengan percaya diri, memandang suramnya kota Surabaya. Ia memandang langit, seolah mempersiapkan diri untuk pertempuran yang tak terhindarkan.
Mallaby: "Mereka akan segera menyerah. Surabaya akan jatuh ke tangan kita."
Di belakangnya, pasukan Sekutu bersiap-siap, mata mereka penuh keyakinan. Namun, tak ada yang tahu siapa yang pertama kali melepaskan tembakan. Begitu cepat, suara tembakan itu menggema, dan ketegangan berubah menjadi kekacauan.
Pemuda Indonesia (berbisik pada temannya): "Jangan mundur, kita bertahan sampai mati."
Beberapa detik kemudian, Mallaby terjatuh. Tubuhnya tersungkur di atas aspal, darah mengalir di sepanjang jembatan. Suasana seketika menjadi hening.
Pemuda Indonesia (menatap Mallaby yang tergeletak): "Kita sudah membayar harga itu. Kini giliran kita."
Kematian Mallaby menjadi titik balik yang mengubah segalanya. Perang ini semakin nyata, semakin tak terhindarkan. Malam itu, para pejuang Indonesia yang telah bersiap untuk pertempuran besar menguatkan tekad mereka.
Saat kalender menunjuk 09 November 1945, suara radio menggema di seluruh kota. Mayjen Robert Mansergh, pengganti Brigjen Mallaby yang tewas, memberikan ultimatum kepada para pejuang Indonesia: mereka harus menyerah, atau Surabaya akan dihancurkan.