OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pagi itu di Universitas Muria Kudus, suasananya ramai normal seperti biasa. Mahasiswa berlalu-lalang dengan langkah cepat, dosen-dosen sibuk menyiapkan materi, dan rekan-rekan Dira sudah duduk di taman, menyelesaikan tugas masing-masing.Â
Namun, di tengah keramaian itu, ada perasaan yang tak terlihat oleh siapa pun. Dira, seorang dosen muda, tampak tenang, tetapi dalam hatinya, sesuatu yang berat tengah menggelayuti.
Dira memang menikmati hari-harinya yang penuh dengan rutinitas. Jadwal sering berubah mendadak, tugas menumpuk, dan presentasi yang kadang datang di saat yang tidak tepat, tetapi itu semua adalah bagian dari dunia akademik yang ia cintai. Hari itu, dia akan mempresentasikan risetnya di Kedai Reka, bersama dengan Prof. Irene Dwiningrum dan Mbak Doktor Ariefa. Keduanya adalah mentor-mentor yang sangat ia hormati, yang telah banyak membimbingnya dalam perjalanan karier di dunia pendidikan.
"Ayo, Dira, kita siap-siap!" panggil Prof. Irene, membuat Dira tersentak dari lamunannya.
"Siap, Prof!" jawab Dira, tersenyum lebar meskipun hatinya terbenam dalam kebingungannya sendiri.
Acara presentasi berlangsung lancar. Kepala sekolah dan guru-guru dari berbagai SMP dan SMA di Kudus dan sekitarnya hadir, berdiskusi mengenai inovasi pendidikan. Dira berdiri di depan mereka, dengan percaya diri menyampaikan risetnya. Setiap kata yang ia ucapkan seolah menjadi titik terang dalam kariernya. Namun, meski kesuksesan di depan mata, perasaan yang ia simpan jauh di dalam hati tidak kunjung reda.
Setelah presentasi selesai, Dira bergabung dengan rekan-rekannya untuk sedikit bersantai. Mereka berbicara tentang hal-hal ringan, bercanda tentang kejadian-kejadian lucu di kampus, tetapi Dira hanya tersenyum tipis. Ia merasa seperti ada dinding yang membatasi dirinya dari dunia luar.
"Ayo, Dira, makan siang!" seru salah satu mahasiswa Himakom yang mendekatinya.
Dira mengangguk, mencoba ikut bergabung meskipun pikirannya tak sepenuhnya berada di sana. Tawa mereka mengalir deras, tetapi Dira merasa kosong. Sementara itu, Arga, kekasihnya yang telah bersamanya selama bertahun-tahun, terus terngiang di pikirannya.
Menjelang senja, Dira berjalan sendirian menyusuri jalanan kampus. Sore itu, mahasiswa masih berkumpul di sekitar kampus, sebagian duduk santai, sementara penjaja makanan mengelilingi kawasan dengan tawaran hidangan hangat. Dira tiba di sebuah kedai kecil di sudut jalan, sebuah tempat favoritnya untuk melepas penat.
"Wedang Selendang Biru, satu," kata Dira kepada pelayan.
Ia menunggu sambil menatap jalanan yang mulai dipenuhi cahaya senja. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat dari Arga muncul di layar.
"Dira, aku rasa ini sudah cukup. Aku ingin kita berpisah."
Dira membeku. Pesan itu seperti petir yang menyambar jantungnya. Wedang yang tadinya hangat terasa pahit di lidahnya. Ia menatap layar ponsel dengan perasaan yang tak terkendali. Dunia yang seketika terasa penuh harapan kini mendadak gelap. Ia menatap ke luar jendela kedai, mencoba mengatur napas, tetapi bayangan Arga tetap menghantui pikirannya.
"Dira, kamu baik-baik saja?" tanya seorang mahasiswa yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
Dira tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan perasaannya. "Ya, aku baik-baik saja," jawabnya singkat, meskipun hatinya teriris.
Dari kejauhan, ia melihat sekelompok mahasiswa berlarian menuju kampus, tertawa riang, tampak bebas dan tanpa beban. Sementara itu, di pojok kedai yang sepi, Dira merasa jauh lebih sendiri. Di tengah keramaian yang tidak pernah berhenti, di tengah suara riuh tawa dan langkah kaki yang berlalu-lalang, ia merasakan kekosongan yang sulit digambarkan. Semua yang ada di sekitarnya seolah berjalan normal, tetapi dunia dalam dirinya telah berubah.
"Kenapa harus seperti ini, Arga?" bisiknya pelan.
Senja yang terlewat mengingatkannya bahwa kadang hidup tidak memberi kesempatan kedua. Dira menatap gelas wedang yang semakin dingin, memikirkan semua yang telah berubah. Keputusan Arga terasa seperti senja yang berlalu begitu saja, meninggalkan kesepian yang dalam. Ia tahu, beberapa hal dalam hidup memang tidak akan pernah sama lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H