"Wedang Selendang Biru, satu," kata Dira kepada pelayan.
Ia menunggu sambil menatap jalanan yang mulai dipenuhi cahaya senja. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat dari Arga muncul di layar.
"Dira, aku rasa ini sudah cukup. Aku ingin kita berpisah."
Dira membeku. Pesan itu seperti petir yang menyambar jantungnya. Wedang yang tadinya hangat terasa pahit di lidahnya. Ia menatap layar ponsel dengan perasaan yang tak terkendali. Dunia yang seketika terasa penuh harapan kini mendadak gelap. Ia menatap ke luar jendela kedai, mencoba mengatur napas, tetapi bayangan Arga tetap menghantui pikirannya.
"Dira, kamu baik-baik saja?" tanya seorang mahasiswa yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
Dira tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan perasaannya. "Ya, aku baik-baik saja," jawabnya singkat, meskipun hatinya teriris.
Dari kejauhan, ia melihat sekelompok mahasiswa berlarian menuju kampus, tertawa riang, tampak bebas dan tanpa beban. Sementara itu, di pojok kedai yang sepi, Dira merasa jauh lebih sendiri. Di tengah keramaian yang tidak pernah berhenti, di tengah suara riuh tawa dan langkah kaki yang berlalu-lalang, ia merasakan kekosongan yang sulit digambarkan. Semua yang ada di sekitarnya seolah berjalan normal, tetapi dunia dalam dirinya telah berubah.
"Kenapa harus seperti ini, Arga?" bisiknya pelan.
Senja yang terlewat mengingatkannya bahwa kadang hidup tidak memberi kesempatan kedua. Dira menatap gelas wedang yang semakin dingin, memikirkan semua yang telah berubah. Keputusan Arga terasa seperti senja yang berlalu begitu saja, meninggalkan kesepian yang dalam. Ia tahu, beberapa hal dalam hidup memang tidak akan pernah sama lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H