OLEH: Khoeri Abdul Muid
Malam itu sunyi, dan hanya embusan angin dingin dari pegunungan yang menemani keheningan di kedai Pak Karta, sebuah kedai kecil berlampu temaram di pinggiran Bandung. Kedai itu sudah beroperasi sejak puluhan tahun lalu, diwariskan dari ayahnya yang dulu selalu berkata, "Minuman ini lebih dari sekadar penghangat tubuh, ini adalah pengingat dari leluhur kita."
Tapi malam itu ada sesuatu yang berbeda. Kedai Pak Karta sepi, hanya menyisakan beberapa gelas kosong yang tampak lesu di meja kayu rapuh. Kesunyian itu tiba-tiba terusik ketika seorang pria berkacamata tebal dan bertopi memasuki kedai. Pak Karta mengenali pria itu dari media sosial; dia salah satu kritikus kuliner yang baru-baru ini menyebut bandrek dan bajigur sebagai minuman tradisional terburuk di Indonesia versi TasteAtlas. Berita itu sudah tersebar ke berbagai penjuru, dan kedai Pak Karta kini terancam oleh opini yang menyayat kebanggaannya.
Tanpa basa-basi, pria itu duduk di sudut kedai, menatap Pak Karta dengan tatapan tajam. "Saya mau bandrek dan bajigur," katanya, suaranya serak namun tegas. Pak Karta berusaha menyembunyikan kekecewaannya, namun hatinya bergejolak. Di saat seperti ini, ia sadar minuman yang ia suguhkan adalah sesuatu yang sudah mendarah daging, bukan sekadar racikan rempah dan gula aren.
Pak Karta menyiapkan bandrek dan bajigur dengan hati-hati, mencampur jahe, kayu manis, dan gula aren dengan takaran yang sempurna, seolah memasukkan sejumput harapan ke dalamnya. Dia menyerahkan dua cangkir panas di atas meja, uapnya melayang tipis, menyebar di udara dingin malam itu.
Pria itu mengangkat cangkir bandrek dan menyeruputnya perlahan. Ia terdiam, merasakan kehangatan jahe yang menusuk tenggorokannya. Matanya sedikit menyipit, menganalisis tiap sensasi yang masuk ke inderanya.
"Apa yang membuat Anda menganggap minuman ini buruk?" tanya Pak Karta, suaranya dalam, ada nada tantangan yang terselip.
Pria itu menatap cangkirnya, lalu berkata pelan, "Bukan soal rasanya yang terlalu keras. Ini seperti... meminum sejarah yang terlalu kuat. Bagi sebagian orang, ini terasa seperti terperangkap dalam nostalgia yang asing, tak ada yang bisa dipahami."
Pak Karta tersenyum samar. "Mungkin karena minuman ini tak dibuat untuk semua orang. Ini minuman bagi mereka yang berani merasakan masa lalu yang sebenarnya," ucapnya lirih. Dia memandangi pria itu, matanya penuh emosi yang tertahan, seolah-olah ingin menyampaikan bahwa minuman ini bukan sekadar penawar dingin, tetapi juga memiliki nilai yang lebih dalam.
Namun sebelum pria itu sempat menjawab, pintu kedai kembali terbuka. Seorang perempuan muda, wajahnya pucat dan penuh kecemasan, berdiri di ambang pintu. Dia adalah anak Pak Karta, yang tinggal di kota untuk belajar dan baru kembali ke Bandung malam itu.
"Pak, ada yang mau saya sampaikan," bisiknya panik.
Pak Karta melirik putrinya, lalu kembali menatap pria di depannya. Ada yang mengganjal di hatinya, seolah-olah malam ini adalah malam terakhir mereka. "Apa yang terjadi, Nak?" tanyanya penuh kekhawatiran.
Anaknya menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan, "Ada kabar, Pak. Beberapa kedai tradisional di kota telah diancam dan dihancurkan. Mereka ingin menghapuskan semua jejak minuman ini... minuman yang katanya tak layak lagi dipertahankan." Matanya menatap pria itu tajam, seolah-olah dia menyiratkan bahwa sang kritikus tahu lebih banyak dari yang dikatakan.
Hening menyelimuti kedai. Pak Karta merasakan dadanya berdegup kencang, sementara pria itu hanya duduk diam, sorot matanya berubah menjadi muram.
"Jadi, minuman ini begitu tidak berarti sampai harus dihapuskan, begitu?" ucap Pak Karta dengan suara bergetar. Tapi, dalam hati ia tahu, pertanyaan itu lebih ditujukan untuk pria di depannya.
Sang kritikus akhirnya mengangkat kepalanya, sorot matanya tajam dan penuh dilema. "Kadang, hal yang kita sebut tradisi hanya penghalang. Di kota besar, orang mencari rasa yang berbeda, tidak yang seperti ini, yang terlalu mengingatkan pada kehidupan yang dingin dan keras." Suaranya terdengar berbisik, hampir tidak terdengar.
Pak Karta menatap pria itu tanpa berkedip, wajahnya seolah membeku. Di kejauhan, suara derap langkah terdengar mendekat, mengancam, memecah keheningan malam.
Saat itu, pria kritikus itu berdiri, wajahnya menunduk. "Mungkin... ini bukan tentang buruk atau tidaknya minuman ini. Mungkin ada lebih dari sekadar rasa di balik semua ini," katanya sebelum melangkah keluar dari kedai.
Pak Karta hanya bisa memandang pria itu menjauh dalam diam, sambil mencengkeram cangkir bandrek yang hangat dalam genggamannya. Suara langkah-langkah itu semakin mendekat, dan di saat itulah, Pak Karta merasa ada sesuatu yang akan berubah untuk selamanya---entah baik, entah buruk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H