Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keheningan di Balik Asap Bandrek

29 Oktober 2024   20:08 Diperbarui: 29 Oktober 2024   20:10 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Malam itu sunyi, dan hanya embusan angin dingin dari pegunungan yang menemani keheningan di kedai Pak Karta, sebuah kedai kecil berlampu temaram di pinggiran Bandung. Kedai itu sudah beroperasi sejak puluhan tahun lalu, diwariskan dari ayahnya yang dulu selalu berkata, "Minuman ini lebih dari sekadar penghangat tubuh, ini adalah pengingat dari leluhur kita."

Tapi malam itu ada sesuatu yang berbeda. Kedai Pak Karta sepi, hanya menyisakan beberapa gelas kosong yang tampak lesu di meja kayu rapuh. Kesunyian itu tiba-tiba terusik ketika seorang pria berkacamata tebal dan bertopi memasuki kedai. Pak Karta mengenali pria itu dari media sosial; dia salah satu kritikus kuliner yang baru-baru ini menyebut bandrek dan bajigur sebagai minuman tradisional terburuk di Indonesia versi TasteAtlas. Berita itu sudah tersebar ke berbagai penjuru, dan kedai Pak Karta kini terancam oleh opini yang menyayat kebanggaannya.

Tanpa basa-basi, pria itu duduk di sudut kedai, menatap Pak Karta dengan tatapan tajam. "Saya mau bandrek dan bajigur," katanya, suaranya serak namun tegas. Pak Karta berusaha menyembunyikan kekecewaannya, namun hatinya bergejolak. Di saat seperti ini, ia sadar minuman yang ia suguhkan adalah sesuatu yang sudah mendarah daging, bukan sekadar racikan rempah dan gula aren.

Pak Karta menyiapkan bandrek dan bajigur dengan hati-hati, mencampur jahe, kayu manis, dan gula aren dengan takaran yang sempurna, seolah memasukkan sejumput harapan ke dalamnya. Dia menyerahkan dua cangkir panas di atas meja, uapnya melayang tipis, menyebar di udara dingin malam itu.

Pria itu mengangkat cangkir bandrek dan menyeruputnya perlahan. Ia terdiam, merasakan kehangatan jahe yang menusuk tenggorokannya. Matanya sedikit menyipit, menganalisis tiap sensasi yang masuk ke inderanya.

"Apa yang membuat Anda menganggap minuman ini buruk?" tanya Pak Karta, suaranya dalam, ada nada tantangan yang terselip.

Pria itu menatap cangkirnya, lalu berkata pelan, "Bukan soal rasanya yang terlalu keras. Ini seperti... meminum sejarah yang terlalu kuat. Bagi sebagian orang, ini terasa seperti terperangkap dalam nostalgia yang asing, tak ada yang bisa dipahami."

Pak Karta tersenyum samar. "Mungkin karena minuman ini tak dibuat untuk semua orang. Ini minuman bagi mereka yang berani merasakan masa lalu yang sebenarnya," ucapnya lirih. Dia memandangi pria itu, matanya penuh emosi yang tertahan, seolah-olah ingin menyampaikan bahwa minuman ini bukan sekadar penawar dingin, tetapi juga memiliki nilai yang lebih dalam.

Namun sebelum pria itu sempat menjawab, pintu kedai kembali terbuka. Seorang perempuan muda, wajahnya pucat dan penuh kecemasan, berdiri di ambang pintu. Dia adalah anak Pak Karta, yang tinggal di kota untuk belajar dan baru kembali ke Bandung malam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun