OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pemerintahan Prabowo-Gibran telah membentuk kabinet merah-putih, termasuk pemecahan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi tiga kementerian terpisah. Meskipun tujuan pemecahan ini adalah untuk meningkatkan fokus dan efisiensi, penting untuk mempertanyakan keberlanjutan Kurikulum Merdeka di tengah dinamika perubahan kebijakan pendidikan yang terus berubah.
Perjalanan Kurikulum Merdeka dan Tantangannya
Kurikulum Merdeka diperkenalkan untuk memberikan fleksibilitas dalam pembelajaran dan menekankan pengembangan kompetensi siswa. Menurut penelitian oleh UNESCO, pendidikan berbasis kompetensi dapat meningkatkan keterampilan kritis dan kreativitas siswa (UNESCO, 2019). Namun, fleksibilitas ini juga dapat menjadi bumerang. Tanpa pedoman yang jelas, implementasi kurikulum dapat bervariasi dari satu sekolah ke sekolah lainnya, menciptakan ketidakseragaman dalam kualitas pendidikan.
Data dari Kemendikbud (2022) menunjukkan kesenjangan signifikan antara sekolah-sekolah di daerah maju dan tertinggal, di mana lebih dari 70% sekolah di daerah terpencil masih menghadapi tantangan dalam akses pendidikan yang memadai. Kesenjangan ini dapat diperparah oleh ketidakpastian dalam penerapan Kurikulum Merdeka, di mana sekolah-sekolah di daerah kurang terlayani mungkin tidak memiliki sumber daya untuk menerapkan metode pembelajaran yang lebih inovatif.
Kinerja Indonesia dalam Evaluasi Internasional
Selama penerapan Kurikulum Merdeka, peringkat Indonesia dalam evaluasi internasional mengalami penurunan yang signifikan. Data dari PISA 2018 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 74 dari 79 negara dalam literasi membaca, peringkat 72 dalam matematika, dan peringkat 69 dalam sains. Angka-angka ini mencerminkan penurunan dibandingkan dengan PISA 2015, di mana Indonesia berada di peringkat 62 untuk literasi membaca dan 63 untuk matematika.
Demikian pula, dalam TIMSS 2019, Indonesia mencatat skor rata-rata 368 dalam matematika dan 375 dalam sains, jauh di bawah rata-rata internasional (TIMSS & PIRLS International Study Center, 2020). Penurunan ini menunjukkan bahwa meskipun Kurikulum Merdeka bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pelaksanaannya belum menghasilkan hasil yang diharapkan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan matematika siswa.
Infrastruktur dan Ketidakpastian dalam Implementasi
Tantangan infrastruktur di daerah terpencil menjadi hambatan besar dalam penerapan Kurikulum Merdeka. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022, lebih dari 50% sekolah di daerah terpencil tidak memiliki akses internet yang stabil. Hal ini sangat mempengaruhi penerapan metode pembelajaran berbasis teknologi dan proyek, yang merupakan inti dari Kurikulum Merdeka.