"Nggo apa kudu nali sepatu bener-bener? Ah, ora usah kaya bocah culun!" celetuk Agus saat Angga mengingatkan agar dia menali sepatu dengan baik.
"Agus, taline sepatu yen ora kenceng, awakmu bisa kesrimpet. Aja sembrana, Gus!" Angga mengingatkan lagi dengan sabar.
Namun, seperti biasa, Agus hanya tertawa sinis. "Ah, ora perlu nasihat saka kowe! Kowe kuwi ndesa, ora ngerti gaya modern," balas Agus dengan sombong.
Angga hanya bisa menghela napas. Dia tidak memaksa, hanya ingin mengingatkan. "Gus, rempeyek diremet-remet, nek ngenyek aja banget-banget," ujarnya bijak.
Tidak lama kemudian, kejadian tak terduga pun terjadi. Suatu siang, setelah jamaah sholat dhuhur di masjid, Agus terburu-buru pulang ke sekolah dengan sepeda. Namun, sepatu yang tidak diikat dengan benar membuat talinya tersangkut pada pedal sepeda, dan Agus jatuh terjerembab ke aspal. Kakinya terkilir parah hingga harus dibawa ke rumah sakit.
Beberapa teman menjenguk Agus, termasuk Angga. Saat Angga masuk ke kamar Agus, terlihat Agus merasa malu. Ia menatap Angga dengan wajah penuh penyesalan.
"Ga, matur nuwun wis ngelingke aku. Yen aku manut nasihatmu soal tali sepatu, mestine iki ora bakal kelakon," ujar Agus dengan lirih.
Angga hanya tersenyum tipis, tanpa berlebihan. "Ora papa, sing penting saiki kowe wis ngerti pentinge nali sepatu kanthi bener lan aman. Iki pelajaran kanggo uripmu," balas Angga bijaksana.
Agus mengangguk penuh rasa haru. Sejak kejadian itu, hubungan Agus dan Angga berubah total. Tidak ada lagi cekcokan dan ejekan. Mereka kini hidup rukun seperti sahabat sejati.***
Di perjalanan pulang dalam mobil, saya dan Jamal, si penulis cerkak, berdiskusi dengan serius tapi santai (sersan) tentang cerkak yang ditulisnya. Dari obrolan kami, kami menyimpulkan beberapa hal penting.