Apakah pemecahan Kemendikbud-Ristek menjadi tiga kementerian merupakan langkah yang bijak, atau justru menambah kerumitan dalam tata kelola pendidikan?Â
Kebijakan Presiden Prabowo Subianto untuk memecah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) menjadi tiga entitas terpisah menimbulkan berbagai pertanyaan. Dengan penunjukan Abdul Mu'ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Satryo Soemantri Brodjonegoro sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan, ini merupakan reorganisasi besar yang mungkin akan berdampak signifikan pada sistem pendidikan di Indonesia.
Perspektif Politik dan Hukum
Secara politik, langkah ini bisa dilihat sebagai upaya untuk memperkuat kontrol dan efisiensi dalam penanganan pendidikan di berbagai tingkatan. Pemisahan ini memberikan ruang bagi menteri-menteri untuk fokus pada lingkup yang lebih spesifik, seperti pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan riset, serta kebudayaan. Namun, di sisi lain, pemecahan kementerian ini bisa juga diinterpretasikan sebagai upaya memperluas basis kekuasaan, di mana lebih banyak posisi penting dapat diisi oleh pihak-pihak strategis yang mendukung pemerintahan Prabowo.
Dari perspektif hukum, pembentukan tiga kementerian baru ini tentu memerlukan dasar hukum yang kuat dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Perubahan struktur kementerian seperti ini memerlukan peraturan presiden dan penyesuaian birokrasi yang mungkin memakan waktu dan sumber daya. Tantangan utamanya adalah sinkronisasi kebijakan dan program antara tiga kementerian ini agar tidak terjadi tumpang tindih atau kebijakan yang saling bertentangan.
Perspektif Filsafat dan Teori Pendidikan
Dari perspektif filsafat pendidikan, kita dapat menelaah kebijakan ini dengan pendekatan pragmatisme. Jika pemecahan ini mampu meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan di setiap jenjang, maka hal itu sejalan dengan prinsip bahwa kebijakan pendidikan harus pragmatis dan efektif. Namun, filsafat holistik dalam pendidikan justru melihat pendidikan sebagai satu kesatuan yang saling terhubung antara pendidikan dasar hingga tinggi, serta kebudayaan yang melingkupinya. Memecah kementerian bisa dilihat sebagai sebuah fragmentasi yang berisiko mengganggu kesinambungan pendidikan.
Teori manajemen publik juga relevan dalam melihat kebijakan ini. Menurut teori organisasi, pemecahan institusi besar menjadi lebih kecil bisa meningkatkan efisiensi jika setiap bagian dapat berjalan secara mandiri. Namun, ada risiko bahwa fragmentasi ini justru menciptakan silo-silo birokrasi yang kurang terkoordinasi dan memperlambat pencapaian tujuan bersama.
Plus Minus Kebijakan Pemecahan Kementerian
Kelebihan:
- Spesialisasi yang Lebih Tajam: Dengan adanya kementerian yang fokus pada bidang yang lebih spesifik, diharapkan kebijakan dan program yang dihasilkan lebih terarah dan efektif.
- Responsibilitas yang Jelas: Setiap menteri memiliki tanggung jawab yang lebih terfokus, sehingga lebih mudah untuk menilai keberhasilan dan kegagalan mereka.
- Potensi Efisiensi dalam Pelayanan Publik: Pembagian ini bisa mempercepat pelayanan dan pelaksanaan program, karena setiap kementerian memiliki fokus yang lebih sempit.
Kekurangan:
- Risiko Disintegrasi Kebijakan: Dengan tiga kementerian yang mengurusi aspek berbeda dalam pendidikan, ada potensi kebijakan menjadi tidak sinkron atau bahkan saling tumpang tindih.
- Biaya Birokrasi yang Meningkat: Pemecahan kementerian biasanya berarti pembentukan birokrasi baru, yang bisa menyebabkan pembengkakan anggaran negara.
- Kesulitan Koordinasi Antar Kementerian: Dengan tiga kementerian yang berbeda, dibutuhkan mekanisme koordinasi yang kuat agar tujuan pendidikan secara keseluruhan tetap tercapai.
Kesimpulan
Pemecahan Kemendikbud-Ristek menjadi tiga kementerian membawa serta peluang dan tantangan. Di satu sisi, langkah ini bisa meningkatkan fokus dan efisiensi dalam mengelola pendidikan dan kebudayaan. Namun di sisi lain, kebijakan ini juga berpotensi menciptakan fragmentasi yang dapat mengganggu koordinasi dan kontinuitas kebijakan pendidikan. Sejauh mana kebijakan ini berhasil, akan sangat bergantung pada seberapa baik kementerian-kementerian baru ini mampu bekerja sama dan menyusun kebijakan yang sinkron serta relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Kebijakan ini memaksa kita untuk bertanya: Apakah memecah sebuah masalah berarti kita lebih dekat pada solusinya, atau justru menambah masalah baru?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H