Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pulung dalam Konteks Keterpilihan Prabowo-Gibran pada Pilpres, Simbol Mistis dan Relevansi Budaya Jawa

19 Oktober 2024   18:20 Diperbarui: 19 Oktober 2024   18:24 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Apakah sebuah kekuatan mistis dapat mempengaruhi perjalanan politik? 

Dalam konteks budaya Jawa, konsep pulung sering kali diasosiasikan dengan takdir, kekuasaan, dan keberuntungan besar. Pulung, yang digambarkan sebagai cahaya melayang di langit, diyakini sebagai tanda seseorang atau kelompok yang terpilih untuk memimpin atau meraih kejayaan. 

Mitos ini telah mengakar kuat dalam budaya Jawa, di mana kekuasaan sering kali dipahami tidak hanya melalui kualifikasi manusiawi, tetapi juga melalui "restu" alam semesta.

Dalam kontestasi politik modern, seperti Pilpres 2024, nama Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka muncul sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

Pertanyaannya, apakah kepercayaan pada simbol mistis seperti pulung masih relevan dalam dinamika politik saat ini? Bagaimana simbol ini bisa memengaruhi persepsi kepemimpinan di kalangan masyarakat, terutama di Jawa?

Perspektif Sosial dan Budaya: Warisan Pulung dalam Tradisi Kepemimpinan Jawa

Secara sosial dan budaya, pulung sering dianggap sebagai pemberi legitimasi kekuasaan di masyarakat Jawa. Dalam sejarah Jawa, raja atau pemimpin yang memiliki pulung diyakini mendapat restu kosmis untuk memimpin. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan hubungan antara manusia dan kekuatan supranatural, tetapi juga memproyeksikan kepemimpinan sebagai sesuatu yang telah ditakdirkan. 

Sejarah Jawa kaya dengan contoh pemimpin besar, seperti Sultan Agung dan Raden Wijaya, yang dianggap memiliki pulung, menjadikan mereka sebagai figur-figur yang diakui secara spiritual.

Dalam konteks Pilpres 2024, narasi pulung bisa menjadi alat penting dalam membangun citra Prabowo-Gibran, terutama di mata masyarakat Jawa yang masih percaya pada simbolisme mistis. Prabowo, yang telah beberapa kali mencalonkan diri sebagai presiden, dapat dilihat sebagai sosok gigih yang mungkin sedang menunggu "waktu pulung"-nya tiba. 

Sementara itu, Gibran, putra Presiden Joko Widodo, membawa simbolisme politik dan kekuasaan dari ayahnya. Dalam perspektif mistis, Gibran seolah-olah menerima pulung keraton---legitimasi mistis kekuasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam tradisi Jawa.

Bagi sebagian masyarakat Jawa, terutama di wilayah seperti Solo yang menjadi pusat budaya Jawa, pasangan ini bisa dianggap sebagai penerus takdir kepemimpinan yang telah dirancang oleh kekuatan supranatural.

Perspektif Politik: Antara Simbolisme dan Rasionalitas

Namun, dalam politik modern, narasi mistis seperti pulung hanya berfungsi sebagai simbol kultural yang memperkaya dinamika politik. 

Dalam dunia yang didominasi oleh strategi elektoral, angka elektabilitas, dan program-program konkret, kepercayaan mistis tidak dapat menggantikan realitas pragmatis yang menentukan kemenangan dalam pemilihan. Faktor seperti dukungan partai, popularitas, manajemen isu, dan strategi kampanye akan memainkan peran lebih besar dalam menentukan hasil Pilpres.

Dari perspektif politik rasional, legitimasi kekuasaan harus datang melalui proses pemilihan umum yang demokratis, transparan, dan berbasis hukum. Dalam hal ini, pulung tidak dapat diandalkan sebagai dasar tunggal untuk membangun kepemimpinan yang sah. 

Meskipun begitu, bagi masyarakat yang masih memegang kuat tradisi Jawa, narasi mistis ini bisa memperkuat dukungan emosional dan simbolis terhadap Prabowo-Gibran.

Perspektif Hukum: Legitimasi Konstitusional vs. Legitimasi Mistis

Dari perspektif hukum, legitimasi politik sepenuhnya didasarkan pada konstitusi dan mekanisme pemilihan umum. Dalam konteks negara demokratis seperti Indonesia, kekuasaan hanya bisa diperoleh melalui pemilihan yang sah dan diakui secara hukum. Meskipun simbolisme seperti pulung bisa memperkuat persepsi kepemimpinan di kalangan tertentu, legitimasi mereka tetap harus melalui jalur konstitusional yang telah diatur undang-undang. 

Hukum tidak mengenal konsep mistis seperti pulung sebagai faktor penentu kekuasaan, namun hukum tetap membuka ruang bagi masyarakat untuk memilih berdasarkan keyakinan, termasuk keyakinan tradisional.

Perspektif Filsafat: Mitos Pulung dan Kekuatan Simbol dalam Politik

Secara filsafat, narasi seperti pulung mencerminkan konsep mitos politik, di mana simbol-simbol digunakan untuk membangun narasi kepemimpinan. Ernst Cassirer berpendapat bahwa mitos-mitos politik memainkan peran penting dalam membentuk persepsi kolektif mengenai legitimasi kekuasaan. 

Dalam hal ini, pulung bisa dipandang sebagai alat naratif yang digunakan untuk membangun citra Prabowo-Gibran sebagai figur-figur yang "ditakdirkan" untuk memimpin. Simbol ini bisa menjadi kekuatan yang menggerakkan dukungan dari kalangan masyarakat yang percaya pada konsep mistis.

Dalam pandangan Hegel, sejarah sering kali dipahami sebagai manifestasi dari Ruh, atau semangat besar yang mendorong peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah manusia. Konsep pulung, dalam konteks ini, dapat dilihat sebagai representasi dari Ruh yang menggerakkan perjalanan politik Indonesia, membawa Prabowo-Gibran menuju takdir kepemimpinan mereka.

Perspektif Teori Sosial: Relevansi Mistisisme dalam Politik Modern

Meskipun mistisisme seperti pulung masih memiliki daya tarik dalam budaya tradisional, kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa dunia modern semakin didominasi oleh rasionalitas dan pragmatisme. Max Weber, dalam teorinya tentang legitimasi, menggambarkan bahwa kekuasaan dapat dibagi menjadi tiga jenis: tradisional, karismatik, dan rasional-legal. 

Pulung dapat dilihat sebagai bagian dari legitimasi tradisional, di mana kekuasaan diakui karena warisan dan simbol-simbol mistis yang dipercayai masyarakat. Namun, dalam politik modern, legitimasi rasional-legal---yang berdasarkan hukum dan aturan---lebih mendominasi, terutama di negara demokrasi seperti Indonesia.

Kesimpulan: Simbol Mistis dalam Politik Modern

Pulung sebagai simbol mistis mungkin tidak sepenuhnya hilang dalam politik modern, terutama di kalangan masyarakat yang masih memegang erat tradisi Jawa. Dalam konteks Pilpres 2024, narasi pulung dapat memperkuat citra Prabowo-Gibran sebagai pemimpin yang "ditakdirkan" oleh kekuatan mistis untuk memimpin Indonesia. 

Meskipun demikian, kekuatan simbolisme ini tetap harus berpadu dengan strategi politik rasional, yang mencakup visi, misi, dan program-program nyata yang ditawarkan kepada rakyat.

Dalam politik demokrasi, legitimasi tetap berada di tangan rakyat, yang memilih berdasarkan berbagai pertimbangan, baik yang bersifat pragmatis maupun simbolis. 

Pulung mungkin bisa menjadi narasi pendukung bagi Prabowo-Gibran, tetapi pada akhirnya, kekuatan politik sejati terletak pada kemampuan mereka untuk meyakinkan rakyat dan memenangkan hati para pemilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun