Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Di Balik Peluit, Ketika Waktu Menjadi Arena Pertarungan Keadilan

11 Oktober 2024   05:03 Diperbarui: 11 Oktober 2024   07:59 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahmed Al Kaf, wasit asal Oman. Foto: AFP/HECTOR RETAMAL/detik.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid


Apakah keadilan dalam olahraga benar-benar berada di tangan wasit, ataukah ia lebih dari sekadar keputusan seseorang di lapangan? Pertanyaan ini menggema setelah pertandingan antara Timnas Indonesia dan Bahrain dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026, di mana kontroversi mengenai waktu tambahan mencuat ke permukaan. Apakah keputusan memperpanjang waktu hingga lebih dari enam menit adalah sebuah kekeliruan manusiawi atau representasi dari masalah yang lebih besar tentang keadilan dan sportivitas dalam olahraga?

Saat Ahmed Al Kaf, wasit asal Oman, memutuskan untuk memperpanjang pertandingan hingga menit ke-101, muncul kekhawatiran yang mendalam terkait keputusan yang dianggap tidak adil. Timnas Indonesia, yang hampir meraih kemenangan, merasa dirugikan ketika Bahrain mencetak gol penyeimbang di luar waktu injury time yang seharusnya berakhir. Apakah ini sekadar masalah teknis, atau ada sesuatu yang lebih besar yang perlu kita renungkan tentang hubungan antara hukum, filsafat sportivitas, dan konsep keadilan?

Sportivitas dan Keadilan dalam Hukum Olahraga

Dalam konteks hukum olahraga, wasit seringkali dianggap sebagai "hakim" di lapangan---otoritas tertinggi yang menjaga jalannya pertandingan sesuai dengan aturan. Namun, hukum bukanlah sekadar aturan tertulis; ia harus diterapkan dengan adil dan sesuai dengan prinsip sportivitas. Di sinilah masalah muncul: apa yang terjadi ketika otoritas tersebut dianggap telah melampaui batas kewenangannya, seperti yang dirasakan oleh PSSI dalam pertandingan ini?

Menurut filsafat hukum, terutama teori keadilan John Rawls, keadilan adalah hasil dari pengaturan aturan yang adil dan diterapkan tanpa memihak. Tetapi, di lapangan sepak bola, "keadilan" ini sering kali bersifat subjektif, bergantung pada interpretasi wasit terhadap situasi yang dinamis dan penuh tekanan. Apakah keputusan Al Kaf untuk memperpanjang waktu hingga lima menit lebih lama dari yang ditetapkan adalah bentuk interpretasi yang tepat, ataukah ia telah mencederai asas fairness yang dijunjung tinggi dalam olahraga?

Filsafat Waktu dan Pengalaman Pertandingan

Menarik jika kita mengkaji peran waktu dalam pertandingan ini dari perspektif filsafat. Waktu, dalam sepak bola, tidak hanya berupa durasi yang dihitung oleh jam. Ia juga merupakan dimensi pengalaman---pengalaman para pemain, penonton, dan tentu saja para pendukung. Waktu bisa terasa panjang saat kemenangan hampir di depan mata, tetapi bisa juga begitu singkat ketika gol yang tidak diharapkan tercipta di detik-detik terakhir.

Martin Heidegger, filsuf eksistensialis, pernah berkata bahwa waktu adalah pengalaman yang subyektif dan penuh dengan makna. Bagi Timnas Indonesia dan pendukungnya, waktu tambahan yang diberikan seolah menjadi arena di mana pengalaman mereka tentang keadilan dan ketidakadilan dipertaruhkan. Apa yang dirasakan sebagai tambahan waktu tak adil oleh satu pihak, mungkin dirasakan sebagai kesempatan terakhir bagi pihak lainnya---dan di sinilah konflik persepsi mengenai keadilan dimulai.

Hyperreality dan Konstruksi Narasi Kemenangan

Dalam konteks modern, narasi yang terbentuk setelah sebuah pertandingan sering kali lebih kuat daripada fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Jean Baudrillard, dalam teori hyperreality-nya, menjelaskan bagaimana realitas kini sering kali dikonstruksi melalui representasi yang melebihi kenyataan itu sendiri. Dalam kasus ini, narasi "wasit yang menambah waktu hingga lawan mencetak gol" bisa jadi akan lebih diingat daripada detail pertandingan itu sendiri.

Kenyataan yang dikonstruksi oleh media, terutama media sosial, membentuk persepsi publik tentang apa yang "benar" dan "salah." Ketika PSSI melayangkan protes resmi terhadap kepemimpinan wasit, mereka tidak hanya berusaha mengoreksi keputusan teknis, tetapi juga sedang membangun narasi keadilan mereka sendiri di mata para pendukung. Pertanyaannya adalah, apakah keadilan itu memang objektif, atau ia hanyalah produk dari narasi yang kita pilih untuk percaya?

Refleksi Terhadap Demokrasi dan Kepemimpinan dalam Olahraga

Jika kita melihat lebih dalam, kasus ini juga bisa dilihat sebagai cerminan demokrasi dalam olahraga, di mana keputusan di lapangan, meski berada di tangan satu orang (wasit), tetap menjadi bahan evaluasi dan diskusi publik yang lebih luas. Demokrasi, sebagaimana diungkapkan oleh Chantal Mouffe, selalu melibatkan pertarungan antara berbagai kekuatan dan kepentingan. Di sini, sportivitas dan keadilan menjadi medan pertarungan antara keputusan otoritatif wasit dan penilaian dari institusi, dalam hal ini PSSI dan para pendukungnya.

Bahkan, filsuf politik seperti Michel Foucault mengingatkan bahwa kekuasaan tidak hanya berjalan secara vertikal dari otoritas ke bawah, tetapi juga bergerak melalui wacana, kritik, dan resistensi. Ketika PSSI mengajukan protes resmi, mereka sedang menggunakan hak mereka untuk menantang kekuasaan, memaksa institusi olahraga untuk meninjau kembali keputusan wasit sebagai representasi dari hukum yang seharusnya adil dan netral.

Penutup: Keadilan dalam Sepak Bola, Cermin Masyarakat

Pertandingan sepak bola lebih dari sekadar hiburan. Ia adalah cermin dari masyarakat kita, tempat di mana ide-ide besar seperti keadilan, kekuasaan, dan sportivitas diuji dan dibentuk. Dalam kasus "injury time yang kontroversial" ini, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah aturan itu sendiri cukup untuk menjamin keadilan, ataukah interpretasi dan penerapannya yang lebih penting? Akhirnya, kita harus bertanya pada diri sendiri, seberapa jauh kita mempercayai institusi yang menjaga keadilan dalam olahraga, dan bagaimana kita sebagai masyarakat seharusnya bereaksi ketika keadilan itu dirasa direnggut?

Waktu di lapangan mungkin telah habis, tetapi perdebatan tentang keadilan dan sportivitas dalam sepak bola akan terus berlanjut, sama seperti demokrasi dan hukum yang terus berkembang. Pertanyaannya: akankah kita tetap berada di pinggir lapangan, atau terlibat dalam proses perubahan itu sendiri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun