OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apakah keadilan dalam olahraga benar-benar berada di tangan wasit, ataukah ia lebih dari sekadar keputusan seseorang di lapangan? Pertanyaan ini menggema setelah pertandingan antara Timnas Indonesia dan Bahrain dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026, di mana kontroversi mengenai waktu tambahan mencuat ke permukaan. Apakah keputusan memperpanjang waktu hingga lebih dari enam menit adalah sebuah kekeliruan manusiawi atau representasi dari masalah yang lebih besar tentang keadilan dan sportivitas dalam olahraga?
Saat Ahmed Al Kaf, wasit asal Oman, memutuskan untuk memperpanjang pertandingan hingga menit ke-101, muncul kekhawatiran yang mendalam terkait keputusan yang dianggap tidak adil. Timnas Indonesia, yang hampir meraih kemenangan, merasa dirugikan ketika Bahrain mencetak gol penyeimbang di luar waktu injury time yang seharusnya berakhir. Apakah ini sekadar masalah teknis, atau ada sesuatu yang lebih besar yang perlu kita renungkan tentang hubungan antara hukum, filsafat sportivitas, dan konsep keadilan?
Sportivitas dan Keadilan dalam Hukum Olahraga
Dalam konteks hukum olahraga, wasit seringkali dianggap sebagai "hakim" di lapangan---otoritas tertinggi yang menjaga jalannya pertandingan sesuai dengan aturan. Namun, hukum bukanlah sekadar aturan tertulis; ia harus diterapkan dengan adil dan sesuai dengan prinsip sportivitas. Di sinilah masalah muncul: apa yang terjadi ketika otoritas tersebut dianggap telah melampaui batas kewenangannya, seperti yang dirasakan oleh PSSI dalam pertandingan ini?
Menurut filsafat hukum, terutama teori keadilan John Rawls, keadilan adalah hasil dari pengaturan aturan yang adil dan diterapkan tanpa memihak. Tetapi, di lapangan sepak bola, "keadilan" ini sering kali bersifat subjektif, bergantung pada interpretasi wasit terhadap situasi yang dinamis dan penuh tekanan. Apakah keputusan Al Kaf untuk memperpanjang waktu hingga lima menit lebih lama dari yang ditetapkan adalah bentuk interpretasi yang tepat, ataukah ia telah mencederai asas fairness yang dijunjung tinggi dalam olahraga?
Filsafat Waktu dan Pengalaman Pertandingan
Menarik jika kita mengkaji peran waktu dalam pertandingan ini dari perspektif filsafat. Waktu, dalam sepak bola, tidak hanya berupa durasi yang dihitung oleh jam. Ia juga merupakan dimensi pengalaman---pengalaman para pemain, penonton, dan tentu saja para pendukung. Waktu bisa terasa panjang saat kemenangan hampir di depan mata, tetapi bisa juga begitu singkat ketika gol yang tidak diharapkan tercipta di detik-detik terakhir.
Martin Heidegger, filsuf eksistensialis, pernah berkata bahwa waktu adalah pengalaman yang subyektif dan penuh dengan makna. Bagi Timnas Indonesia dan pendukungnya, waktu tambahan yang diberikan seolah menjadi arena di mana pengalaman mereka tentang keadilan dan ketidakadilan dipertaruhkan. Apa yang dirasakan sebagai tambahan waktu tak adil oleh satu pihak, mungkin dirasakan sebagai kesempatan terakhir bagi pihak lainnya---dan di sinilah konflik persepsi mengenai keadilan dimulai.
Hyperreality dan Konstruksi Narasi Kemenangan