Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Tiga Srikandi dan Pertarungan Suara, Refleksi Filosofis dari Jawa Timur

10 Oktober 2024   12:45 Diperbarui: 15 Oktober 2024   13:54 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KPU Jawa Timur menetapkan pasangan cagub-cawagub Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Hakim mendapatkan nomor urut satu, pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak nomor urut dua dan pasangan Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta nomor urut tiga. (ANTARA FOTO/Moch Asim via kompas.com)

Survei elektabilitas yang menunjukkan Khofifah-Emil di posisi teratas mengisyaratkan adanya korelasi antara kedekatan dengan para kiai dan jumlah dukungan yang signifikan di akar rumput. Namun, apakah angka-angka ini bisa benar-benar mencerminkan realitas yang lebih luas?

Ilmu data dan teknologi saat ini memungkinkan para calon untuk merancang strategi berdasarkan analisis data besar (big data), mengidentifikasi pola perilaku pemilih, dan menyesuaikan kampanye untuk meraih simpati lebih besar. 

Namun, dalam esensinya, apakah teknologi ini bisa benar-benar menangkap kerumitan batin manusia, yang kadang memilih bukan berdasarkan logika, tapi berdasarkan emosi, kepercayaan, atau bahkan "fatsun sami'na wa atho'na"?

Gagasan 'Fatsun' dan Politik Kultural

Dalam konteks Jawa Timur, khususnya di kalangan masyarakat NU, konsep 'fatsun sami'na wa atho'na' (mendengar dan taat) memainkan peran kunci. 

Ini bukan sekadar soal kepatuhan buta, melainkan sebuah bentuk kepercayaan mendalam terhadap otoritas moral dan spiritual yang melekat pada para kiai dan tokoh agama.

Luluk, Risma, dan Khofifah masing-masing mengandalkan strategi untuk menggerakkan basis kultural ini. 

Namun, perdebatan filosofis muncul: sejauh mana pemilih benar-benar bebas dalam membuat keputusan politik, atau apakah mereka hanya menjalankan 'fatsun' dalam konteks tradisi yang sudah mendarah daging?

Teknologi, Budaya, dan Perubahan

Dalam percaturan Pilgub ini, kita melihat bagaimana teknologi modern, kekuatan tradisi, dan narasi perubahan berbaur menjadi satu. 

Luluk mengusung gagasan perubahan sebagai daya tarik utama, membangun citra diri sebagai pendatang baru yang siap mengguncang status quo. Tapi, apakah perubahan itu mungkin terjadi dalam struktur sosial yang sudah tertanam begitu kuat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun