OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apakah kita bisa mengharapkan pemerintahan yang efektif jika stabilitas politik menjadi taruhannya?Â
Pertanyaan ini menjadi relevan kembali saat gagasan Zaken Kabinet---kabinet yang terdiri dari teknokrat, profesional, dan politisi---muncul menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih di Indonesia. Konsep yang pernah dipopulerkan pada masa Kabinet Djuanda di era demokrasi liberal, kini hadir kembali dalam lanskap politik yang berbeda, yakni sistem presidensial dengan multipartai. Namun, apakah konsep ini masih sesuai, atau justru menyimpan tantangan baru?
Refleksi Filosofis: Politik di Antara Stabilitas dan Kompetensi
Filsafat politik mengajarkan kita bahwa pemerintahan adalah seni untuk mencapai keseimbangan antara banyak hal yang sering kali saling bertentangan: stabilitas versus kebebasan, efektivitas versus inklusivitas, serta efisiensi versus representasi. Dalam konteks Zaken Kabinet, dilema utamanya adalah antara stabilitas politik yang diraih melalui akomodasi kekuatan politik, dengan efektivitas kebijakan yang hanya bisa dicapai jika pemerintahan didominasi oleh teknokrat yang netral dan profesional.
Menurut pandangan filsafat politik, stabilitas politik merupakan prasyarat untuk keberlangsungan negara. Ketika berbagai kepentingan politik diakomodasi, negara memiliki fondasi kuat untuk menghindari konflik internal yang bisa menggoyahkan roda pemerintahan. Namun, stabilitas ini sering kali dicapai dengan mengorbankan efektivitas pemerintahan. Dalam sistem presidensial dengan banyak partai, presiden sering kali harus menghadapi godaan untuk memasukkan banyak tokoh politik ke kabinet demi menjaga dukungan politik, meski hal ini berpotensi memperlambat implementasi kebijakan yang substansial.
Teori Hukum dan Kekuasaan: Pembatasan atau Ekspansi?
Dari perspektif hukum dan teori kelembagaan, sistem presidensial Indonesia menempatkan presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, memberikan otoritas eksekutif yang luas. Namun, dalam praktiknya, presiden sering dihadapkan pada kendala politik yang berasal dari koalisi multipartai. Disinilah Zaken Kabinet menjadi menarik. Secara teori, penempatan teknokrat dan profesional di posisi strategis dapat mempercepat proses pengambilan keputusan. Namun, hukum politik multipartai yang menuntut akomodasi kepentingan dapat membatasi ruang gerak presiden.
Teori kelembagaan menyebut bahwa pembentukan kebijakan yang efektif memerlukan struktur yang jelas, namun juga fleksibel untuk merespons tantangan politik dan sosial. Di sinilah letak paradoks dalam penerapan Zaken Kabinet di era modern. Keseimbangan antara menjaga sistem politik yang representatif dengan mempercepat laju kebijakan adalah tantangan yang sulit ditaklukkan.
Politik Praktis: Kekuasaan dan Akomodasi
Dalam realitas politik Indonesia, Mada Sukmajati menggarisbawahi bahwa oposisi sering kali minim insentif untuk tetap di luar pemerintahan. Partai-partai politik cenderung lebih memilih berada dalam kabinet untuk memperoleh akses ke sumber daya negara, memperkuat basis politik mereka di daerah, dan mempertahankan relevansi dalam lingkup politik nasional. Ini menjelaskan mengapa dalam konteks Indonesia, Zaken Kabinet menghadapi tantangan yang unik. Partai politik, alih-alih berfungsi sebagai pengawas pemerintah dari luar, justru lebih memilih peran dalam pemerintahan. Konsekuensinya, pilihan presiden untuk membentuk kabinet yang lebih teknokratik bisa terbatas oleh tekanan politik.
Namun, ada sisi lain dari politik akomodasi ini. Dalam politik kekuasaan, kompromi menjadi bagian tak terelakkan. Penempatan politisi dalam kabinet bisa memberikan stabilitas jangka panjang, tetapi juga bisa memperlambat realisasi kebijakan. Sebaliknya, kabinet yang didominasi teknokrat mungkin menghasilkan kebijakan yang lebih cepat, tetapi berpotensi melemahkan dukungan politik yang diperlukan untuk jangka panjang.
Zaken Kabinet sebagai Solusi?
Dari perspektif politik modern, Zaken Kabinet sebenarnya menawarkan model yang relevan di tengah dinamika politik Indonesia yang kompleks. Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Presiden Joko Widodo, model ini telah diterapkan dalam beberapa posisi strategis seperti Menteri Keuangan dan Menteri Luar Negeri, yang sering diisi oleh profesional. Keberhasilan di dua posisi ini menunjukkan bahwa profesionalisme di bidang tertentu sangat diutamakan untuk menjaga kebijakan publik yang efektif dan objektif.
Namun, apakah model ini bisa diterapkan secara keseluruhan? Fakta bahwa sistem presidensial multipartai Indonesia memerlukan kompromi politik menimbulkan keraguan apakah Zaken Kabinet dapat diterapkan secara penuh tanpa mengorbankan stabilitas politik. Tantangan terbesar bagi presiden adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kebutuhan politik praktis dan aspirasi untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien.
Pada akhirnya, konsep Zaken Kabinet mengajarkan kita bahwa di dalam politik, kesempurnaan adalah sesuatu yang ilusi. Yang bisa dilakukan adalah mencapai keseimbangan terbaik antara kepentingan politik dan profesionalisme teknokrat. Ini bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi kabinet, tetapi bagaimana mereka bisa bekerja sama untuk menjawab tantangan zaman. Di sinilah letak filsafat politik dalam membentuk realitas pemerintahan: tidak ada satu sistem yang ideal, hanya sistem yang paling sesuai dengan tantangan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H