Dalam realitas politik Indonesia, Mada Sukmajati menggarisbawahi bahwa oposisi sering kali minim insentif untuk tetap di luar pemerintahan. Partai-partai politik cenderung lebih memilih berada dalam kabinet untuk memperoleh akses ke sumber daya negara, memperkuat basis politik mereka di daerah, dan mempertahankan relevansi dalam lingkup politik nasional. Ini menjelaskan mengapa dalam konteks Indonesia, Zaken Kabinet menghadapi tantangan yang unik. Partai politik, alih-alih berfungsi sebagai pengawas pemerintah dari luar, justru lebih memilih peran dalam pemerintahan. Konsekuensinya, pilihan presiden untuk membentuk kabinet yang lebih teknokratik bisa terbatas oleh tekanan politik.
Namun, ada sisi lain dari politik akomodasi ini. Dalam politik kekuasaan, kompromi menjadi bagian tak terelakkan. Penempatan politisi dalam kabinet bisa memberikan stabilitas jangka panjang, tetapi juga bisa memperlambat realisasi kebijakan. Sebaliknya, kabinet yang didominasi teknokrat mungkin menghasilkan kebijakan yang lebih cepat, tetapi berpotensi melemahkan dukungan politik yang diperlukan untuk jangka panjang.
Zaken Kabinet sebagai Solusi?
Dari perspektif politik modern, Zaken Kabinet sebenarnya menawarkan model yang relevan di tengah dinamika politik Indonesia yang kompleks. Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Presiden Joko Widodo, model ini telah diterapkan dalam beberapa posisi strategis seperti Menteri Keuangan dan Menteri Luar Negeri, yang sering diisi oleh profesional. Keberhasilan di dua posisi ini menunjukkan bahwa profesionalisme di bidang tertentu sangat diutamakan untuk menjaga kebijakan publik yang efektif dan objektif.
Namun, apakah model ini bisa diterapkan secara keseluruhan? Fakta bahwa sistem presidensial multipartai Indonesia memerlukan kompromi politik menimbulkan keraguan apakah Zaken Kabinet dapat diterapkan secara penuh tanpa mengorbankan stabilitas politik. Tantangan terbesar bagi presiden adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kebutuhan politik praktis dan aspirasi untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien.
Pada akhirnya, konsep Zaken Kabinet mengajarkan kita bahwa di dalam politik, kesempurnaan adalah sesuatu yang ilusi. Yang bisa dilakukan adalah mencapai keseimbangan terbaik antara kepentingan politik dan profesionalisme teknokrat. Ini bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi kabinet, tetapi bagaimana mereka bisa bekerja sama untuk menjawab tantangan zaman. Di sinilah letak filsafat politik dalam membentuk realitas pemerintahan: tidak ada satu sistem yang ideal, hanya sistem yang paling sesuai dengan tantangan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H