Namun, romantisme ini juga bisa dilihat sebagai komoditas yang dijual dengan harga yang tak ternilai. Lagu-lagu romantis laris manis di pasar karena mereka mampu mengikat perasaan manusia dalam wadah yang sangat dapat diprediksi---cinta.
Hal ini bukan sekadar refleksi emosional, tetapi produk budaya yang dikonsumsi dalam lingkup kapitalisme.
Musik Sebagai Bisnis: Viralitas dan Ekonomi Emosi
Apa yang membuat Maliq & D'essentials tiba-tiba tajir? Jawabannya adalah kapitalisasi dari emosi kolektif yang viral di media sosial. Di era modern ini, viralitas bukanlah sesuatu yang spontan; ia merupakan hasil dari strategi pemasaran digital yang cermat, di mana konten disebarkan untuk memicu resonansi emosional di kalangan audiens luas.
Inilah mengapa lagu Kita Bikin Romantis bukan hanya populer, tapi juga menjadi mesin ekonomi bagi band tersebut.
Musik, di tangan bisnis modern, telah menjadi alat monetisasi emosi. Konser, tur, merchandise, dan hak cipta adalah beberapa dari banyak aliran pendapatan yang bisa dieksploitasi dari satu karya musik.
Di sinilah musik berfungsi sebagai medium kapitalistik, di mana kesuksesan diukur berdasarkan popularitas di media sosial dan kemampuan untuk menghasilkan uang, bukan hanya pengaruh artistik atau nilai estetisnya.
Refleksi Filosofis: Musik, Kapitalisme, dan Romantisme Modern
Jika kita melihat fenomena ini dari perspektif filsafat, terutama dalam konteks kapitalisme budaya, Maliq & D'essentials dan lagu mereka adalah representasi dari apa yang disebut "ekonomi romantisme." Di era di mana segala sesuatu dapat dimonetisasi, termasuk cinta dan romantisme, musik menjadi kendaraan yang efektif untuk menjual pengalaman emosional.
Dalam dunia yang dikuasai oleh tren dan permintaan pasar, musik tak lagi menjadi sekadar ekspresi jiwa, melainkan produk yang harus sesuai dengan selera publik untuk tetap relevan.
Ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah kita benar-benar jatuh cinta pada musik, atau kita hanya jatuh cinta pada apa yang dijual kepada kita?