OLEH: Khoeri Abdul muid
Apakah setiap pemimpin baru harus selalu mendapat kesempatan untuk menata diri, ataukah dunia tidak akan menunggu?
Pertanyaan ini mengemuka ketika kita melihat Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang pada 20 Oktober 2024 akan menghadapi dunia yang penuh dengan konflik geopolitik dan masalah domestik. Di antara tuntutan dunia internasional dan kebutuhan domestik, bagaimana mereka dapat mempertahankan keseimbangan antara prinsip dan pragmatisme?
Filsafat politik mengajarkan kita bahwa kepemimpinan selalu berada di persimpangan antara moralitas dan realpolitik. Prabowo, yang dikenal tegas, dan Gibran, yang masih hijau di kancah politik nasional, tidak akan memiliki waktu untuk "bulan madu."
Mereka akan langsung berhadapan dengan isu-isu kompleks yang melibatkan konflik Israel-Palestina, yang kini merambah ke Lebanon dan Iran, serta ketegangan Laut China Selatan yang semakin memanas. Di dalam negeri, tantangan pertumbuhan ekonomi, korupsi yang merajalela, dan harapan besar masyarakat akan janji kampanye menjadi batu uji bagi keberanian dan kebijaksanaan mereka.
Dari perspektif hukum internasional, isu-isu yang mereka hadapi bukan hanya masalah politik, tetapi juga melibatkan kewajiban moral dan hukum. Konflik Israel-Palestina, misalnya, menguji posisi Indonesia sebagai negara yang selama ini mendukung kemerdekaan Palestina.
Namun, dalam diplomasi internasional, Prabowo diharapkan menggunakan hubungan pribadinya dengan tokoh-tokoh Judaisme untuk menjembatani dialog. Ini menempatkan Indonesia di tengah-tengah kontradiksi: mendukung Palestina, tetapi juga membuka pintu dialog dengan Israel demi perdamaian yang lebih luas.
Teori hubungan internasional, terutama realisme, akan melihat tindakan Prabowo dan Gibran dalam konteks upaya mempertahankan kekuatan dan stabilitas. Realisme mengajarkan bahwa negara harus bertindak berdasarkan kepentingan nasional mereka sendiri, bukan semata-mata pada nilai moral.
Dalam hal ini, peran Indonesia dalam konflik Laut China Selatan dan ketegangan Timur Tengah akan ditentukan oleh bagaimana mereka dapat menjaga stabilitas regional dan kepentingan ekonomi domestik, seperti yang diprediksi oleh Aleksius Jemadu bahwa peningkatan harga minyak akibat konflik Timur Tengah dapat memengaruhi anggaran negara.
Namun, apakah pendekatan realpolitik ini cukup? Dalam filsafat politik, Immanuel Kant berbicara tentang "etika universal," di mana tindakan moral harus berlaku di semua tempat dan waktu, tidak hanya saat itu menguntungkan. Prabowo dan Gibran harus menghadapi dilema moral ini: bagaimana memediasi perdamaian antara Israel dan Palestina tanpa mengorbankan prinsip-prinsip etika yang dipegang oleh bangsa Indonesia?
Konflik Laut China Selatan adalah tantangan lain yang menunjukkan betapa tipisnya garis antara kepentingan nasional dan tanggung jawab regional. Prabowo dihadapkan pada pertanyaan: Haruskah Indonesia bersikap netral dalam menghadapi kekuatan besar seperti China, ataukah mengambil sikap yang lebih proaktif untuk menjaga kedaulatan regional?
ASEAN sebagai lembaga regional juga belum sepenuhnya solid, sehingga Indonesia harus menjadi jangkar perdamaian di kawasan tersebut, atau risiko kehilangan pengaruh regional semakin besar.
Secara teoritis, pendekatan neorealisme menganggap bahwa negara-negara akan selalu berjuang untuk bertahan hidup di bawah sistem internasional yang anarki. Tetapi di sisi lain, teori konstruktivisme menunjukkan bahwa norma-norma internasional dan identitas negara dapat membentuk kebijakan luar negeri.
Dalam hal ini, bagaimana Indonesia mempertahankan identitasnya sebagai negara yang berlandaskan Pancasila, yang menekankan perdamaian dan keadilan, dalam realitas dunia yang didominasi oleh konflik dan ketegangan?
Di dalam negeri, tantangan hukum juga tidak kalah rumit. Dengan pemberantasan korupsi yang mulai melemah dan sengketa hukum yang berpotensi "menggerogoti" legitimasi pemerintahan, Prabowo dan Gibran harus bertindak cepat untuk memastikan bahwa hukum dan keadilan ditegakkan.
Keberhasilan mereka di panggung internasional tidak akan berarti tanpa fondasi yang kuat di dalam negeri. Jika janji-janji mereka tentang reformasi hukum dan peningkatan ekonomi tidak terpenuhi, mereka akan kehilangan kepercayaan rakyat, yang pada akhirnya mengancam stabilitas pemerintahan.
Pada akhirnya, refleksi ini mengingatkan kita bahwa tidak ada jalan mudah bagi Prabowo dan Gibran. Dunia tidak akan memberi mereka waktu untuk belajar, dan tantangan yang mereka hadapi bukan hanya soal politik, tetapi juga persoalan etika, hukum, dan identitas nasional.
Kepemimpinan tanpa "bulan madu" ini akan menjadi ujian sejati bagi mereka, di mana setiap langkah yang diambil akan menentukan arah masa depan Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H