OLEH: Khoeri Abdul Muid
Saat itu, aku, Rizky, sedang menanti hari kelulusan di kampus. Setiap ada kesempatan, aku pulang ke kampung untuk merasakan kembali kehidupan yang tenang. Suatu siang, di warung kopi tempat aku dan teman-temanku sering nongkrong, kami mendengar kabar mengejutkan: seorang anak hilang. Putri, gadis kecil kelas 4 SD, yang tinggal bersama kakek dan neneknya setelah orang tuanya merantau. Ibunya ke Arab untuk bekerja, sedangkan ayahnya di Sumatra.
Putri dikenal sebagai anak yang pendiam dan sering melamun. Kabar hilangnya dia membuat kami cemas. Setelah diskusi, kami memutuskan untuk mencari tahu ke Mbah Dukun, yang juga merupakan lurah desa. Siapa tahu dia bisa memberi petunjuk tentang keberadaan Putri.
Setibanya di rumah Mbah Dukun, kami disambut dengan senyuman misterius. "Putri akan pulang jam 12 malam," katanya yakin. Tak puas, kami melanjutkan perjalanan ke dukun kedua, dukun lokal yang dikenal dengan keakuratannya. Anehnya, dia juga mengatakan hal yang sama. Malam itu, kami sudah tidak sabar untuk menunggu.
Kami berkumpul di rumah kakek Putri, yang tampak lemah. Kakek dan neneknya pasrah, seolah sudah menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Dengan membawa camilan dan kopi, kami berusaha menunggu sambil menonton Piala Dunia yang sedang berlangsung. Beberapa dari kami menonton, yang lain mengobrol.
Saat jam menunjukkan pukul 11.45 malam, suasana semakin tegang. Tiba-tiba, tanpa kami sadari, semua orang tertidur. Ketika terbangun, kami terkejut melihat Putri sudah berdiri di depan pintu, mengenakan seragam sekolahnya, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Bau busuk menyeruak, membuat kami meringis.
"Putri!" teriakku, bingung dan ketakutan. Kami membimbingnya masuk ke dalam rumah. Saat itu, aku melihat wajahnya yang datar dan matanya yang kosong. Kakek dan neneknya memeluk Putri, namun tidak ada ekspresi bahagia dari wajahnya.
Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, aku dan teman-temanku pamit pulang. Dalam perjalanan, aku melewati jalan sempit di sisi yang ditumbuhi rumpun bambu. Suasana malam itu terasa mencekam. Bulu kudukku berdiri, membayangkan sesuatu yang jahat mengintai kami. Dalam pikiranku, terbayang sosok menyeramkan, mungkin gendruwo, yang sering diceritakan orang tua di kampung.
Aku mempercepat langkah, berlari kecil tanpa berani menoleh ke belakang. Kata orang, dalam keadaan takut, jangan sekali-kali menoleh. Namun, saat aku tiba di halaman rumah, rasa takutku memuncak. Aku menoleh ke belakang sambil berteriak, "Sudah, jangan kau ganggu aku! Ini kampung halamanku, ini kekuasaanku!"
Namun, tak ada apa-apa di belakangku. Ketika aku berbalik, aku melihat bayangan Putri berdiri di depan rumahku, mengenakan seragamnya, tetapi kali ini senyuman lebar yang menyeramkan menghiasi wajahnya. Matanya tampak gelap, dan suara tawa anak-anak bergema di sekelilingku, menggantikan ketenangan malam.
Kekhawatiran membanjiri pikiranku. Kakinya mulai melangkah ke arahku, namun tiba-tiba dia berhenti, senyumnya melebar, memperlihatkan gigi yang tajam. Tiba-tiba, seluruh listrik padam, menyisakan kegelapan yang menyelubungi sekeliling. Suara tawa anak-anak semakin mengerikan, seolah menghujani malam dengan kehadiran mereka yang tak terlihat.
Aku berlari, ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H