Ya. Mereka sering berdiskusi soal apa saja. Se-mood mereka.
Asiknya, dua-duanya hoby membaca buku-buku tebal dan menulis di blog Gurusiana.
Jleb!
Begitu pintu mobil ditutup dan Silo tancap gas. Dua jomblo ganteng itu irit bahkan hampir puasa bicara. Perasaan prihatin dan marah tampak membuncah mengaduk jiwanya.
"Ini bukan peristiwa biasa.Ini Budi Great!" teriak bathin mereka.
Persis menjelang maghrib yang sepi. Panther Turbo hitam berteknologi GPS itu terhenti di mulut gapura makam. Â Mereka bergegas turun. Menuju gunduk kuburan Pak Guru Budi yang masih gampang dikenal. Berjongkok. Dan, khusuk mendo'a.
Usai beritual spiritual sholat maghrib di mushola makam, Ponco-Silo balik mengikuti jejak taburan bunga yang diyakininya pasti menuju rumah duka.
Ya. benar. Di suatu rumah sederhana sudah terkumpul seratusan lebih para peserta tahlilan. Ponco-Silo disambut ramah perwakilian keluarga, lantaran istri Pak Guru Budi masih shock. Ponco-Silo menyampaikan rasa bela sungkawa. Mendo'a agar keluarga yang ditinggalkan, terutama istri Pak Guru Budi yang saat ini sedang mengandung bayi 4 bulan, diberi ketabahan luar biasa. Lalu bergegas pamit. Sembari menyampaikan uang tali asih sekedarnya yang dibungkusnya amplop, merakapun bersalaman dengan keluarga dan beberapa tamu disekitarnya.
Begitu membuka pintu dan masuk mobil. Air mata Ponco-Silo yang sedari tadi dibendungnya. Mulai berkaca-kaca dan meleleh. Jleb! Seturut saat pedal pacu diinjak perlahan Ponco. Lambai tangan diayun-ayun, da-da. Maka derai pembersih lensa indra penglihat itupun berderai-derai jatuh di baju putih mereka.
Sebuah perjumpaan singkat. Tapi memorinya merekam tajam rasa seperasaannya, yakni  rasa prihatin dan marah dari empati keluarga dan para tamu!
Sama. Perjalanan pulang itupun bisu. Selepas jembatan Suramadu, tiba-tiba Ponco tiba-tiba menginjak pedal rem dan menepi di sebangun kedai kopi.