OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah sekolah boarding yang terletak di pinggiran kota, aku, seorang guru baru, mendapatkan rumah dinas yang lebih besar dari teman-teman seletingku. Kabar itu datang dengan bisikan dan tatapan cemas dari guru senior.
"Rumah itu adalah jatah wakil kepala sekolah," ucap Bu Rina dengan suara bergetar. "Tapi tidak ada yang mau menempatinya."
"Kenapa?" tanyaku, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang mulai menjalar.
"Karena rumah itu ada hantunya," Pak Joko menambahkan dengan nada serius. "Pak Wakil lebih memilih rumah dinas guru yang lebih kecil. Katanya, di sana sering terdengar suara tangisan dan terlihat bayangan."
"Masa sih? Cuma cerita lama, Bu," jawabku, berusaha tersenyum meski jantungku berdegup kencang. Tapi saat aku mendengar bahwa rumah itu dekat dengan gudang koper---tempat yang konon digunakan siswa untuk menggantungkan diri---kecemasan mulai menggerogoti pikiranku.
Akhirnya, dengan tekad bulat, aku memutuskan untuk menempati rumah itu setelah menerima surat perintah. Saat pertama kali melangkah ke dalam rumah Z15, suasana dingin menyelimuti. Dinding-dindingnya berwarna kusam, dan aroma lembap menggantung di udara.
"Sangat besar, ya?" Dika, temanku, berkomentar dengan nada bercanda. "Semoga kamu tidak mengundang arwah penasaran."
"Ha ha, sangat lucu," balasku, tapi senyumku tak sampai di mata.
Malam itu, setelah sholat Isyak, teman-temanku pamit pulang. "Ingat, jangan sendirian, ya!" Rina berpesan, wajahnya terlihat khawatir.