Apakah keadilan masyarakat dapat ditegakkan melalui kekerasan? Pertanyaan ini tetap relevan setiap kali kita mendengar berita tentang tindakan main hakim sendiri.Â
Meskipun kasus seperti yang terjadi di daerah Jawa Timur, hampir satu dekade lalu, di mana seorang pemuda tewas dihajar massa karena diduga sebagai penjambret, sudah lama berlalu, fenomena serupa masih sering terjadi.Â
Tindakan brutal yang mengambil nyawa tanpa proses hukum ini tidak hanya menyisakan duka, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendalam tentang rasa keadilan dan fungsi hukum di masyarakat kita saat ini.
Kita mungkin tidak lagi mengingat secara spesifik kejadian di Probolinggo tersebut, tetapi pola yang terjadi tetap ada.Â
Dalam kerumunan yang penuh dengan emosi, orang-orang sering kali lebih memilih untuk menghukum di tempat, melepaskan amarah kolektif tanpa memberikan kesempatan bagi proses hukum untuk berjalan.Â
Apa yang memicu tindakan semacam ini, dan apa dampaknya bagi masyarakat yang semakin kompleks?
Main Hakim Sendiri: Budaya atau Luapan Emosi?
Fenomena main hakim sendiri yang terus muncul bukan sekadar peristiwa masa lalu, tetapi juga cerminan ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum.Â
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus serupa terus menghiasi berita di berbagai wilayah Indonesia. Rasa frustrasi terhadap sistem hukum yang dianggap lamban atau tidak adil sering kali memicu masyarakat untuk mengambil tindakan sendiri.
Namun, apakah tindakan ini benar-benar mencerminkan keadilan? Atau, justru merupakan manifestasi dari emosi yang tak terkendali, sebuah anomie, istilah dari sosiolog Emile Durkheim yang menggambarkan situasi di mana norma-norma sosial runtuh, meninggalkan kekosongan dalam aturan dan moralitas?Â