Dalam konteks masyarakat modern, di mana sistem hukum seharusnya berfungsi sebagai pelindung, kekerasan seperti ini bisa dianggap sebagai kegagalan bersama.
Ketika hukum gagal memberikan rasa aman dan keadilan, amarah rakyat bisa berubah menjadi keinginan untuk menegakkan "keadilan" mereka sendiri.Â
Namun, pertanyaan besar yang harus kita jawab: apakah kekerasan di tangan massa ini benar-benar mengembalikan rasa keadilan? Atau hanya menambah trauma bagi semua pihak yang terlibat?
Perbandingan dengan Kasus-Kasus Lain
Masyarakat sering kali bersikap keras terhadap pelaku kejahatan kecil seperti penjambret, tetapi sikap ini belum tentu diterapkan pada mereka yang melakukan kejahatan lebih besar, seperti koruptor. Ini menciptakan kesenjangan keadilan yang sulit dijelaskan.Â
Seorang penjambret di jalan bisa kehilangan nyawanya dalam sekejap di tangan massa, sementara koruptor yang merugikan negara dalam jumlah besar sering lolos dengan hukuman yang relatif ringan.
Dalam perspektif teori keadilan distributif dari filsuf John Rawls, kesenjangan ini menciptakan ketidakadilan struktural, di mana pelaku kejahatan "kecil" dihukum lebih keras daripada mereka yang melakukan pelanggaran besar.Â
Keadilan yang setara, menurut Rawls, harus memperhatikan keseimbangan dan kesetaraan dalam penerapan hukum, sehingga setiap orang diperlakukan dengan cara yang adil terlepas dari skala kejahatan yang dilakukan.
Keadilan Tidak Seharusnya Melalui Kekerasan
Penjambretan jelas merupakan tindakan kriminal yang merugikan, tetapi membunuh seorang tersangka tanpa melalui proses hukum juga sama salahnya.Â
Dalam ajaran agama, Islam menekankan pentingnya keadilan yang ditegakkan dengan cara yang benar. Dalam Surat Al-Maidah (5:32) disebutkan bahwa "Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia."Â