Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring] E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Refleksi atas Pancasila, Mengapa Ia Tak Boleh Disamakan dengan Pilar Lain?

30 September 2024   04:59 Diperbarui: 30 September 2024   05:22 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Penghapusan istilah Empat Pilar Kebangsaan oleh Mahkamah Konstitusi adalah lebih dari sekadar tindakan hukum; ini adalah upaya untuk menjaga kemurnian dan ketepatan dalam penempatan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. 

Kita perlu bertanya, seberapa penting ketepatan dalam menempatkan ideologi sebuah bangsa? Dan bagaimana kita memahami dampak jika ideologi yang seharusnya menjadi pondasi utama disamakan kedudukannya dengan komponen lainnya, seolah-olah itu hanyalah salah satu tiang dalam bangunan negara?

Dalam ajaran Islam, salah satu prinsip penting yang diajarkan adalah tauhid, yaitu keesaan Allah yang tidak boleh disamakan atau disetarakan dengan apa pun. Tauhid adalah fondasi keyakinan yang absolut dan mutlak. 

Jika prinsip ini diganggu, maka seluruh bangunan keimanan runtuh. Dalam konteks negara, ideologi Pancasila menempati posisi yang serupa: ia adalah inti, fondasi dari seluruh sistem dan prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika disetarakan dengan unsur lain seperti UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, atau NKRI---yang sesungguhnya merupakan ekspresi dari Pancasila itu sendiri---maka kita telah menggoyahkan dasar ideologi kita.

Pentingnya Kemurnian Ideologi dalam Bangunan Negara

Mahkamah Konstitusi dengan bijak mempertimbangkan bahwa konsep "empat pilar" ini tidak hanya salah secara epistemologis---karena mendistorsi posisi Pancasila---tetapi juga berbahaya dari sudut ontologis dan aksiologis. 

Pancasila tidak dapat disamakan dengan tiang-tiang lainnya, sebab ia bukan hanya salah satu dari sekian unsur, tetapi merupakan dasar yang menjiwai seluruh komponen negara. Dalam setiap bangunan, pondasi memiliki peran yang berbeda dari tiang atau atap. Pondasi menopang segala sesuatu di atasnya, dan jika ia diganggu atau disamakan dengan komponen lain, seluruh struktur bisa runtuh.

Refleksi ini mengingatkan kita pada kisah legendaris Menara Babel dalam kitab Kejadian di Alkitab, di mana manusia dengan sombongnya berusaha membangun menara yang mencapai surga. Namun, pondasi dari menara tersebut adalah kesombongan dan kekacauan, bukan kebenaran dan ketetapan. 

Hasilnya, bahasa mereka terpecah-belah, dan proyek mereka gagal. Ketidakmampuan untuk membedakan mana yang harus menjadi dasar dan mana yang hanya elemen pendukung mengakibatkan kehancuran.

Pancasila: Lebih dari Sekadar Pilar

Pancasila bukanlah sekadar salah satu dari empat elemen dasar. Ia adalah landasan ideologis yang memberikan arah bagi seluruh aspek kehidupan bangsa, mulai dari hukum, pendidikan, hingga politik. Menurut filsafat ontologis, dasar negara merupakan ekspresi dari esensi keberadaan suatu bangsa. 

Apabila dasar ini dirancukan dengan konsep-konsep lain, kita tidak hanya merusak pemahaman masyarakat terhadap Pancasila, tetapi juga membahayakan masa depan bangsa.

Dalam aksiologi, atau studi tentang nilai, Pancasila berfungsi sebagai panduan moral dan etika untuk masyarakat. Pancasila menuntun kita menuju keadilan sosial, toleransi, dan kesetaraan. 

Dengan menyamakannya dengan pilar-pilar lain, kita menurunkan nilai Pancasila dari panduan utama menjadi sekadar salah satu dari beberapa komponen yang bisa dipilih atau ditinggalkan. Hal ini serupa dengan prinsip dalam kehidupan sehari-hari: jika kita menganggap integritas hanya sebagai salah satu dari sekian nilai moral, dan tidak memprioritaskannya, kita akan kehilangan arah.

Pelajaran dari Sejarah: Menghormati Dasar Negara

Dalam sejarah modern, kita dapat melihat contoh negara-negara yang gagal menjaga kemurnian ideologi dasarnya. Di Timur Tengah, misalnya, beberapa negara yang dahulunya berlandaskan prinsip-prinsip yang kuat telah tergelincir dalam konflik internal karena hilangnya kesatuan dalam memegang teguh prinsip-prinsip tersebut.

 Dalam kasus lain, seperti di Eropa Timur setelah jatuhnya komunisme, ada periode kekacauan karena ideologi negara yang selama ini dipertahankan dengan cara yang salah akhirnya runtuh, meninggalkan kekosongan yang sulit diisi.

Di sisi lain, negara-negara yang berhasil mempertahankan ketepatan dalam menempatkan ideologinya, seperti Jepang dengan semangat bushido atau prinsip-prinsip konfusianisme di Korea Selatan, berhasil membangun fondasi negara yang kokoh dan terarah. Mereka memahami bahwa landasan ideologi harus tetap murni dan tidak boleh dipertaruhkan, bahkan di tengah perubahan zaman.

Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi Pancasila: Menjaga Kebenaran

Epistemologi Pancasila menegaskan bahwa ia merupakan sumber pengetahuan utama tentang bagaimana sebuah bangsa harus bersikap, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap dunia. Sebagai pondasi, ia tidak boleh disetarakan dengan komponen lainnya. 

Ontologi Pancasila menyatakan bahwa ia adalah esensi keberadaan bangsa Indonesia, sementara aksiologinya mengarahkan kita pada nilai-nilai yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mengabaikan peran utama Pancasila sama halnya dengan mengabaikan keberadaan bangsa itu sendiri.

Dalam konteks reflektif, penghapusan istilah "Empat Pilar Kebangsaan" oleh Mahkamah Konstitusi bukanlah semata-mata tindakan formal. Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk kembali kepada esensi ideologi negara dan mempertahankan kemurniannya. 

Kita harus belajar dari sejarah dan dari ajaran agama serta kebijaksanaan kuno, bahwa pondasi yang kuat tidak boleh disetarakan dengan tiang atau atap. Hanya dengan menghormati dasar ideologi negara kita, bangsa Indonesia akan mampu berdiri tegak dan kokoh di hadapan tantangan zaman.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun