OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah kota kecil yang tenang, tinggallah dua keluarga modern, keluarga Ryan dan keluarga Arif. Ryan, seorang petani organik, mengelola kebun kecil yang selalu ia rawat dengan penuh cinta. Sementara Arif, tetangganya, adalah pengusaha muda yang ambisius, selalu mencari cara untuk mengembangkan bisnisnya.
Suatu hari, Arif datang dengan sebuah ide. "Ryan, aku ingin membeli sebagian tanahmu. Aku akan membangun kafe di sana, tempat nongkrong keren yang bakal menarik banyak orang. Kau bisa mendapatkan keuntungan besar dari kerjasama ini," katanya dengan percaya diri.
Ryan, meski tergiur, tak langsung mengambil keputusan. Kebun itu sudah menjadi bagian dari hidupnya, tempat ia menanam sayur-sayuran dan buah-buahan segar yang selalu ia panen setiap musim. Setelah berbincang panjang dengan keluarganya, Ryan akhirnya menolak tawaran Arif.
Penolakan itu membuat Arif kesal. "Kau egois, Ryan! Kau hanya memikirkan dirimu sendiri. Padahal kafe ini bisa memberi manfaat bagi semua orang di sekitar!" seru Arif dengan nada kecewa.
Ryan tetap tenang meski hatinya bergejolak. "Aku mengerti keinginanmu, Arif. Tapi tanah ini adalah hidupku. Aku tidak bisa begitu saja menyerahkannya," jawabnya dengan sabar.
Hari-hari berlalu, namun kekecewaan Arif tidak mereda. Ia mulai menebarkan gosip di media sosial, menyebarkan desas-desus bahwa Ryan adalah orang yang kikir dan tidak peduli dengan kemajuan kota. Berita itu cepat menyebar, membuat beberapa warga yang sebelumnya mengenal Ryan sebagai pria baik mulai meragukannya.
Merasa difitnah, Ryan tertekan. Malam-malamnya diisi dengan perasaan campur aduk, antara marah dan kecewa. Hingga pada suatu sore, ia memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini secara langsung.
Ryan mendatangi Arif di kafenya yang masih dalam tahap perencanaan. "Arif, kita tetangga. Harusnya kita saling mendukung, bukan saling menjatuhkan," ucap Ryan dengan nada serius tapi tenang. "Aku tidak ingin hubungan kita berakhir buruk hanya karena ambisi pribadi. Kita bisa menemukan jalan keluar yang baik untuk semua."
Arif terdiam, menatap Ryan dengan raut wajah penuh penyesalan. "Maaf, Ryan," akhirnya ia berkata dengan suara pelan. "Aku terlalu terobsesi dengan keinginanku sendiri sampai aku lupa pentingnya menjaga hubungan antar manusia. Aku seharusnya menghargai keputusanmu."