Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lampu Kuning di Tengah Banjir

24 September 2024   17:52 Diperbarui: 24 September 2024   17:59 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Banjir datang tak diundang, menelan rumah-rumah, jalanan, dan mimpi-mimpi warga di pinggiran kota Jakarta. Terperangkap di atap rumahnya, Satria menyaksikan air keruh yang tak henti-hentinya mengalir. Matanya menerawang, merenungi bagaimana banjir yang mengerikan ini menyeretnya ke dalam pergulatan yang lebih besar---pergolakan batin tentang hidup, harapan, dan kematian.

Duduk di sebelahnya, Nur, istrinya, meringkuk kedinginan. Hujan deras yang mengguyur sejak dini hari telah menghentikan rutinitas kehidupan mereka. Tanpa listrik, tanpa suara mesin mobil yang biasa riuh di jalanan, hanya ada gemuruh air dan raungan angin yang menakutkan.

"Satria, apakah ini tanda dari Tuhan?" tanya Nur, suaranya lemah namun penuh keresahan.

Satria menoleh, menatap wajah istrinya yang pucat. Ia sendiri tak memiliki jawaban pasti. "Mungkin, Nur. Mungkin ini adalah lampu kuning dari Tuhan."

Nur menatap Satria bingung. "Lampu kuning?"

Satria terdiam sejenak, memikirkan perumpamaan yang pernah ia dengar dari seorang ulama tentang kehidupan. "Kita semua sedang dalam perjalanan, Nur. Hidup ini seperti berkendara di jalan raya. Ketika lampu hijau menyala, kita bergerak, bekerja, berjuang---melakukan segala yang kita bisa untuk mencapai tujuan kita. Tapi ketika lampu kuning menyala, itu peringatan. Kita harus berhati-hati, bersiap untuk berhenti."

Nur menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. "Dan banjir ini... apa kau pikir ini lampu kuning bagi kita?"

"Ya," jawab Satria, suaranya berat. "Ini peringatan. Bahwa kita tidak akan selamanya berada di lampu hijau. Waktu kita terbatas."

Mereka terdiam sejenak, membiarkan suara air yang menderu-deru memenuhi keheningan di antara mereka. Tiba-tiba, jeritan seorang anak kecil terdengar dari kejauhan. Satria segera bangkit, memandang sekeliling. Di kejauhan, terlihat seorang ibu yang panik, terjebak di tengah arus deras bersama anaknya yang menangis.

Tanpa berpikir panjang, Satria melompat dari atap, berenang melawan arus yang kuat. Hatinya berdebar-debar. Ia tahu, ini mungkin bisa menjadi yang terakhir. Setiap gerakan di dalam air terasa seperti pertaruhan hidup dan mati. Namun, tekadnya untuk menyelamatkan anak itu mengalahkan ketakutannya.

Saat akhirnya berhasil meraih tangan si anak dan menyerahkannya kepada ibunya yang menangis lega, tubuh Satria sudah hampir kehabisan tenaga. Arus semakin kuat, menariknya menjauh. Di tengah keputusasaan, ingatannya melayang pada pesan Ali bin Abu Thalib yang sering ia dengar saat pengajian:

"Jangan pernah meremehkan kiamat, karena engkau akan berada di dalamnya untuk waktu yang sangat panjang."

Ia tahu, ini belum kiamat. Namun tanda-tandanya sudah jelas, seperti lampu merah yang akan segera menyala. Manusia sibuk berlari mengejar mimpi, mengabaikan alam, dan akhirnya diingatkan dengan peristiwa seperti ini. Namun, hanya sedikit yang memperhatikan.

Setelah perjuangan yang tampaknya tiada akhir, Satria akhirnya kembali ke tempat Nur menunggunya. Tubuhnya gemetar, tapi ada rasa lega di dadanya. Ia telah melakukan yang benar, meski harus menghadapi resiko besar.

"Nur," ucapnya terengah-engah, "mungkin kita belum siap menghadapi lampu merah, tapi kita bisa belajar dari lampu kuning ini. Kita harus lebih waspada, lebih baik... sebelum terlambat."

Nur mengangguk, air mata mengalir di pipinya. Mereka tak tahu kapan banjir ini akan surut, tapi satu hal pasti: peringatan telah datang, dan mereka tak bisa lagi mengabaikannya.

Di tengah malam yang dingin, dengan suara gemuruh banjir yang masih menggema, Satria dan Nur merenung. Mereka tahu, hidup ini tidak selamanya lampu hijau. Dan ketika lampu kuning menyala, saatnya bagi mereka untuk lebih waspada, siap menghadapi apa pun yang akan datang---termasuk lampu merah yang tak bisa dihindari.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun