Tanpa berpikir panjang, Satria melompat dari atap, berenang melawan arus yang kuat. Hatinya berdebar-debar. Ia tahu, ini mungkin bisa menjadi yang terakhir. Setiap gerakan di dalam air terasa seperti pertaruhan hidup dan mati. Namun, tekadnya untuk menyelamatkan anak itu mengalahkan ketakutannya.
Saat akhirnya berhasil meraih tangan si anak dan menyerahkannya kepada ibunya yang menangis lega, tubuh Satria sudah hampir kehabisan tenaga. Arus semakin kuat, menariknya menjauh. Di tengah keputusasaan, ingatannya melayang pada pesan Ali bin Abu Thalib yang sering ia dengar saat pengajian:
"Jangan pernah meremehkan kiamat, karena engkau akan berada di dalamnya untuk waktu yang sangat panjang."
Ia tahu, ini belum kiamat. Namun tanda-tandanya sudah jelas, seperti lampu merah yang akan segera menyala. Manusia sibuk berlari mengejar mimpi, mengabaikan alam, dan akhirnya diingatkan dengan peristiwa seperti ini. Namun, hanya sedikit yang memperhatikan.
Setelah perjuangan yang tampaknya tiada akhir, Satria akhirnya kembali ke tempat Nur menunggunya. Tubuhnya gemetar, tapi ada rasa lega di dadanya. Ia telah melakukan yang benar, meski harus menghadapi resiko besar.
"Nur," ucapnya terengah-engah, "mungkin kita belum siap menghadapi lampu merah, tapi kita bisa belajar dari lampu kuning ini. Kita harus lebih waspada, lebih baik... sebelum terlambat."
Nur mengangguk, air mata mengalir di pipinya. Mereka tak tahu kapan banjir ini akan surut, tapi satu hal pasti: peringatan telah datang, dan mereka tak bisa lagi mengabaikannya.
Di tengah malam yang dingin, dengan suara gemuruh banjir yang masih menggema, Satria dan Nur merenung. Mereka tahu, hidup ini tidak selamanya lampu hijau. Dan ketika lampu kuning menyala, saatnya bagi mereka untuk lebih waspada, siap menghadapi apa pun yang akan datang---termasuk lampu merah yang tak bisa dihindari.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H